Jumat, 19 Desember 2014

''GO BACK''

 
BERBALIK ARAH

Waktu demi waktu terus saja bergulir,
membentangkankan panjang jarak kehidupan yang telah jauh terlampaui.
Namun seiring bertambahnya rentangan usia kita,
ada pertanyaan tajam yang harus kita jawab,
"Jika hari ini mati! masuk kemana kah kita, ke surga atau neraka?
Jika jawabannya in shaa Allah mudah-mudahan ke surga, karena kita tergolong
orang yang sholeh, semoga kita tidak menjadi sombong.
Tetapi jika jawabannya kemungkinan atau pasti ke neraka, karena ibadah saja pun tidak, amal kebaikan jarang, terlebih amaliyah buruk lah yang selalu kita lakukan, maka betapa sialnya!
Berlebih hidup puluhan tahun namun hasil akhirnya masuk ke neraka jahanam.
Sesekali tidak!
Kita jangan jadi pecundang dan menjadi teman setan di neraka.
Karenanya, selagi ada kesempatan hidup MARI KITA BERBALIK ARAH menuju jalan ke surga.
Mulailah dengan belajar menuntut ilmu agama dan berteman dengan orang-orang shaleh
Semoga matahari esok pagi akan menjadi saksi : Kembalinya iman yang hilang,
datangnya secercah harapan, bangkit dan kembalinya sang ksatria ke rumahnya di jalan keshalehan.
Mari kita semua bersama berbalik arah. Halangan dan cemoohan pasti akan ada,
tetapi jadikanlah itu penyemangat ke Surga.
NgajiHikam Bab-49
Diambil dari sidogiri dengan beberapa penyesuaian.

“Besarnya dosa jangan sampai menjadi rintangan bagimu dari berhushnudh-dzhan (Baik prasangka) kepada Allah sebab barang siapa yang benar-benar mengenal Allah, akan menganggap kecil dosanya dibanding luasnya kemurahan yang dimiliki oleh Allah.”

Di bab sebelumnya sudah dijelaskan bahwa di antara tanda matinya hati adalah tidak adanya perasaan menyesal dikala berbuat dosa.

Sekarang dilanjutkan bahwa meski kita dianjurkan menyesal di saat melakukan dosa, jangan lantas membuat sikap ini terus menguasai kita sehingga mengakibatkan dirinya putus asa dan bersikap negative thinking / berburuk sangka kepada Allah.

Di saat berbuat dosa atau lalai menunaikan kewajiban maka kita dianjurkan menyesal dan bangkit memperbaiki kelalaian itu. Bukan terus menyesal dan membuat kita lupa pada besarnya ampunan yang dimiliki oleh Allah. Kalau hanya menyesal saja ya jelas salah.

Realitanya kadang ada sebagian orang yang berbuat dosa, kemudian menyesalinya sampai-sampai putus asa pada besarnya ampunan yang dimiliki oleh Allah.

Setan kadang membisikinya bahwa kalau sudah terlanjur berbuat dosa besar, maka perbuatan ibadahnya sudah tak berguna lagi. Apabila bisikan setan ini dituruti maka perasaan menyesal akibat berbuat dosa tak lantas menjadikannya bangkit tuk berbuat baik.

Karena itu kalam hikmah sebelumnya harus dipahami sesuai konteksnya dengan mempelajari kalam hikmah saat ini.

Bahwa menyesal saat berbuat dosa/tak melaksanakan kewajiban itu bagus, tapi harus bangkit tuk memperbaikinya, bukan terus-terus meratapinya.

Seberapa besar dan banyak dosa yang kita kerjakan, ampunan dan rahmat yang dimiliki oleh Allah jauh lebih besar dari itu semua.

Menyesal dari berbuat dosa tak lantas membuat terpuruk dalam penyesalan selamanya, tapi justru sebaliknya, bangkit dan memperbaiki kesalahan.

Kalau ditanya. Bagaimana mungkin dalam satu sisi kita diperintah menyesal saat berbuat dosa, tapi di sisi lain diperintah tuk husnud-dzan?

Maka di sini perlu dijelaskan secara rinci, bahwa perintah menyesali perbuatan dosa adalah semata-mata karena malu kepada Allah.

Malu karena Allah telah memperlakukan kita dengan sebaik-baiknya, tapi kita kok malah mendurhakainya dengan berbuat dosa. Ini sangat memalukan.

Menyesali perbuatan dosa itu murni karena faktor malu kepada-Nya. Bukan karena takut akan siksaan/ancaman neraka dari Allah.

Kalau penyesalan berbuat dosa karena berdasarkan takut kepada siksaan/neraka, maka sejatinya dia ego. Ego mementingkan diri sendiri. Soal surga/neraka, siksa/nikmat, itu murni menjadi hak prerogatif Allah. Manusia tak memiliki kekuasaan apa-apa. Apabila menyesali perbuatan dosa karena takut neraka, maka potensi berburuk sangka kepada Allah semakin tinggi. Namun, apabila menyesali perbuatan dosa karena malu terhadap Allah maka kita tetap bisa menjaga tuk senantiasa berbaik sangka kedapa-Nya.

So, perlu ditegaskan kembali bahwa ketika berbuat dosa/lalai pada kewajiban maka sikap kita adalah menyesali perbuatan itu semua. Selanjutnya bangkit tuk memperbaiki semua kesalahan itu dengan tetap percaya dan berbaik sangka bahwa ampunan Allah jauh lebih besar.

Inilah sikap yang proporsional. Jangan lantas dosa yang dikerjakan itu membuatnya menyesal, tapi tidak membuatnya bangkit dari keterpurukan.

Orang yang mengenal sifat-sifat Allah dengan pemahaman yang baik akan sadar, bahwa rahmat dan ampunan-Nya jauh melebihi sifat murkanya.

Sabtu, 25 Oktober 2014

HIKAM BAB II

AB II
“Memahami Maqam Asbab dan Tajrid”
Serial Kuliah Twitter (Kultwet) dari akun @sidogiri
1) Assalamualaikum tweeps... inilah #NgajiHikam BAB-2. Selamat mengikuti tweeps... J
2) Ibnu Athaillah brkata: “Kehendakmu utk tajrid tatkala Allah tempatkanmu pd status asbab, adalah syahwat yg tersembunyi.” #NgajiHikam >>
3) >> “Sedangkan kehendakmu pd asbab tatkala Allah menempatkanmu pd status tajrid, adalah kemerosotan dr cita2 yg tinggi” #NgajiHikam
4) Hikmah ini berkisar pd 2 poros; yg 1 disebut “tajrid”, yang 1 lagi disebut “asbab”. Apakah arti dari dua kalimat itu? #NgajiHikam
5) Kita selalu dihadapkan pada 2 keadaan ini, tajrid dan asbab. Maka penting bagi kita tuk mengilmui keduanya. #NgajiHikam
6) [1] seseorang mendapati dirinya tersandera oleh alam asbab (sebab-sebab dan perantara). #NgajiHikam
7) Kemana dia bergerak, dia tidak bisa menghindar dari sebab2 dan perantara. Inilah yg disebut keadaan “asbab”. #NgajiHikam
8) [2] Seseorang mendapati dirinya terjauhkan dari pengaruh asbab; ia tidak memiliki jalan menuju asbab, #NgajiHikam
9) Keadaan ini disebut keadaan “tajarrud” atau “tajrid” (terlepas dari sebab-sebab dan perantara). #NgajiHikam
10) Nah, tiap mukmin harus melihat status yg telah ditentukan Allah untuk dirinya, lalu dia beramal sesuai dengan status itu. #NgajiHikam
11) Ia tidak boleh terburu mengikuti kemauannya sendiri tatkala menerapkan tatanan asbab atau tajrid #NgajiHikam >>
12) >> dengan tanpa terlebih dahulu memperjelas keadaan & posisi yg telah ditentukan Allah utknya. #NgajiHikam
13) Jika yang terjadi sedemikian halnya, maka sesungguhnya ia sedang menuruti kemauannya sendiri #NgajiHikam >>
14) >> meskipun di permukaan tampaknya ia sedang menjalankan perintah Allah & melaksanakan hukum2-Nya.
15) Demikian arti hikmah BAB-2 ini. Namun mari kita uraikan hikmah ini melalui gambaran2 dari peristiwa2 yang kita alami. #NgajiHikam
16) Seseorang yg diberi wewenang oleh Allah menjadi kep rumah tangga, dg seorang istri n beberapa anak. #NgajiHikam
17) Dg demikian, dia telah diliputi sebab2 yg menariknya utk mencari rezeki dan bekerja keras utk memperoleh rezeki. #NgajiHikam
18) Bayangkan kalau org ini berusaha naik pada tingkatan kesalehan & ketakwaan, menuju tangga tauhid & tawakal #NgajiHikam >>
19) >> seraya berkata dalam hatinya: aku tidak perlu lagi ke pasar, tak perlu lagi bekerja keras untuk mendapatkan rezeki, #NgajiHikam >>
20) >> Krn aku yakin dg firman Allah: Maka mintalah rezki itu di sisi Allah. (QS al-‘Ankabut [29]: 17) #NgajiHikam
21) Aku akan melepaskan diri dari kesibukan duniawi, dari kesibukan di pasar, menuju ibadah kepada Allah. #NgajiHikam
22) Lalu org ini pun berhenti ke pasar, tak lagi bekerja dg dalih bahwa ia akan menenggelamkan diri dalam lautan tauhid. #NgajiHikam
23) Dia tak lagi berhubungan dg sebab2, krn ia telah memandang pada Dzat yg menciptakan sebab2 itu (Allah SWT)! #NgajiHikam
24) Maka org ini adalah contoh yg pas utk hikmah ke-2 Ibnu ‘Aṭa’illāh ini, dan ia harus diperingatkan dg hikmah itu. #NgajiHikam
25) Kita katakan kpdnya: “Kehendakmu utk tajrid tatkala Allah menempatkanmu pd status asbab, merupakan syahwat tersembunyi.” #NgajiHikam
26) ia tampak sedang menerapkan sikap ketauhidan, namun hakikatnya ia sedang mengikuti hawa nafsunya. Kenapa begitu? #NgajiHikam
27) Ya, krn Allah tlh menempatkannya pd posisi asbab, sbg kepala rumah tangga, maka mestinya ia bekerja. Itu perintah Allah. #NgajiHikam
28) Tapi ia tak mau bekerja, malah ibadah terus utk wushul pd Allah. So sejatinya ia sdg mengikuti nafsunya yg tersembunyi. #NgajiHikam
29) Org macam ini tlh berperangai buruk pd Allah, dg memaksakan diri lepas dr tatanan-alam-Nya & ketentuan-Nya. #NgajiHikam
30) So bagi org yg diposisikan dlm status asbab, bekerja itulah ibadahnya, bahagiakan kelurga itulah wiridnya. #NgajiHikam
31) menganggap ibadah terbatas pd amalan2 tertentu saja, sedangkan selain itu hanya urusan duniawi, adalah keliru fatal! #NgajiHikam
32) seluruh perbuatan baik itu ibadah, jika dg niat yg benar & ikhlash krn Allah SWT. #NgajiHikam
33) Hanya saja perbuatan baik juga melihat keadaan tiap org & tugas2 yg ditetapkan Allah pada masing2 mereka. #NgajiHikam
34) Maksudnya, tak semua perbuatan baik itu juga baik utk semua org. Kebaikan atau ketidak-baikan suatu perbuatan bergantung #NgajiHikam >>
35) >> pada keadaan org yg melakukan perbuatan itu, serta pada posisi yg tlh ditentukan oleh Allah utk org itu.
36) Bagi org yang kehidupannya oleh Allah dipisahkan dari relasi sosial, dijauhkan dari tanggung-jawab rumah tangga, #NgajiHikam >>
37) >> amal salehnya terwujud dlm ibadah personal yg faedahnya kembali pada orang itu saja. #NgajiHikam
38) Bagi org yg oleh Allah ditempatkan dlm posisi penangung-jawab sosial-politik, amal salehnya terwujud dlm melayani umatnya #NgajiHikam
40) Bagi yg bertugas menjaga perbatasan negara, amal salehnya adalah menjalankan tugas-tugas khususnya dengan ikhlas. #NgajiHikam
41) Begitu seterusnya, dengan catatan kita tidak melupakan kewajiban pokok, seperti salat lima waktu, puasa, dll #NgajiHikam
42) Selanjutnya, ada orang2 yang oleh Allah dijauhkan dari keterhubungan dengan asbab (sebab-sebab dan perantara) #NgajiHikam
43) Zaid, misalnya, tdk memiliki tanggung-jawab apapun, terkait dengan istri, anak-anak, kerabat dan famili. #NgajiHikam
44) Sementara ia telah memiliki bekal penghidupan yg cukup plus hal-hal pokok lain yang diperlukan. #NgajiHikam
45) Dlm keadaan ini, si Zaid akan ditarik oleh dua kecenderungan yang bertolak belakang. #NgajiHikam
46) Kecenderungan pertama berkata: “Kini kamu tlh memiliki sarana2 yg cukup utk hidupmu. Kenapa kau tdk cukupkan dg itu saja? #NgajiHikam
47) Tinggalkan keinginanmu utk menambah kekayaan dunia yang tidak kau perlukan itu, lalu waktumu kau gunakan utk >> #NgajiHikam
48) >> memperdalam pengetahuan agama, menjalankan ibadah dan melayani agama Allah SWT?” #NgajiHikam
48) kecenderungan kedua akan berkata: “Bangkit & carilah tambahan rezeki. Krn Allah membenci hamba yg menganggur. #NgajiHikam >>
49) >> Dahulu Umar RA mendatangi para pengangguran di masjid dan memukuli mereka dg tongkatnya. #NgajiHikam
50) Menurut Anda, apa yang seharusnya dilakukan orang ini (Zaid), dan seruan mana yang mestinya ia penuhi? #NgajiHikam
51) Nah, yg menjawab pertanyaan itu adalah bagian terakhir dari hikmah kedua Ibnu ‘Aṭa’illāh tersebut, yakni: >>
52) >> “Kehendakmu u/ tajrid tatkala Allah menempatkanmu pd status asbab, adalah syahwat yg tersembunyi.” #NgajiHikam
53) Maksudnya, jika Anda hendak bermalas-malasan krn mengandalkan bekal penghidupan yang cukup itu; >> #NgajiHikam
54) >> Anda makan, minum, tidur, senang2 hingga mati, maka jelas itu ciri khas kehidupan binatang. #NgajiHikam
55) Namun jika keterlepasan dari asbab itu membuat Anda fokus mengkaji agama Allah, terlepas dari kegiatan duniawi >> #NgajiHikam
56) maka itulah jalan yg benar. Itulah jalan yg lebih layak bagi orang2 yg berjiwa besar dan memiliki cita2 tinggi. #NgajiHikam
57) Sebab memang Allah telah menempatkan Anda pada keadaan tajrid (terlepas dari sebab2 dan perantara)
58) Maka ketimbang mengejar asbab yg oleh Allah dijauhkan dari Anda itu, lbh baik Anda menuju Allah yg ‘mengejar’ Anda. #NgajiHikam >>
59) >> tentu dengan cara melayani agama-Nya, mempelajari syariat-Nya, atau fokus beribadah kepada-Nya. #NgajiHikam
60) Jika org yg dlm posisi tajrid itu membantah: “Bukankah bekerja itu juga ibadah?” #NgajiHikam
61) Maka pikiran seperti itu hanyalah godaan dari setan saja. Itu adalah bentuk dari kemerosotan cita2 yg tinggi #NgajiHikam
62) Andai pikiran spt itu benar, pasti kita akan menilai bodoh pd para pemuda yg belajar Islam di berbagai belahan dunia ini. #NgajiHikam
63) Mereka bisa saja mengabaikan keadaan tajarrud yg ditetapkan Allah, dan memilih bekerja menumpuk kekayaan. #NgajiHikam
64) Tapi faktanya mereka lebih memilih belajar & beramal sesuai dg keadaan tajarrud yg telah ditetapkan oleh Allah itu. #NgajiHikam
65) Mereka bergegas menuju pesantren2 di berbagai dunia Islam, fokus belajar & beribadah. Tak bekerja sama sekali. #NgajiHikam
66) Selagi para pemuda itu oleh Allah belum diserahi tanggung-jawab urusan rumah tangga, urusan masyarakat atau politik #NgajiHikam >>
67) >> maka kita mesti angkat topi terhadap mereka, dan menilai mereka sebagai barisan orang2 Istimewa. #NgajiHikam
68) Tapi jika seseorang oleh Allah telah diserahi tanggung-jawab urusan rumah tangga, urusan masyarakat, dll #NgajiHikam >>
69) >> lalu ia malah meninggalkan tugas penting yg telah ditetapkan Allah itu, lalu fokus ibadah atau malah pergi mondok >> #NgajiHikam
70) maka berarti ia telah menyalahi tatanan dan arahan Islam, menyalahi apa yg ditetapkan dan dibebankan Allah terhadapnya. #NgajiHikam
71) Maka, syariat adalah neraca yang bisa dijadikan ukuran untuk mengetahui keadaan setiap orang; #NgajiHikam
72) apakah seseorang berada dlm keadaan tajarrud, terbebas dari asbab, atau sedang ada dlm keadaan terikat oleh asbab. #NgajiHikam
73) Jika seseorang melangkahi neraca syariat lalu beralih mengikuti kecenderungan pribadinya sendiri >> #NgajiHikam
74) >> berarti ia tlh terjerumus pada “syahwat tersembunyi”, atau “merosot dari cita yg tinggi”. #NgajiHikam
75) Sekadar contoh: seorang ayah berkata pada anaknya, “Aku akan memenuhi segala kebutuhan hidup yang kau perlukan, >> #NgajiHikam
76) >> kamu tak perlu bekerja, namun kamu harus fokus untuk belajar al-Quran dan mempelajari hukum2 syariat Allah.” #NgajiHikam
77) Dengan demikian, berarti Allah telah menempatkan anak itu dalam posisi tajrid, berdasarkan neraca syariat & hukumNya. #NgajiHikam
78) Maka, yang dituntut darinya adalah beramal sesuai dengan posisi yang telah ditetapkan oleh Allah ini. #NgajiHikam
79) Ia harus fokus untuk mempelajari kitab Allah, hukum2 syariat-Nya, dan mendalami ilmu-ilmu agama. #NgajiHikam
80) Anak ini tak perlu diceramahi soal perintah mencari rezeki, syariat melarang kamu menganggur, dll. #NgajiHikam
81) Sebab perintah bekerja itu hanya bagi mereka yg punya tanggungjawab, & kebutuhan hidupnya tak dipenuhi oleh siapapun. #NgajiHikam
82) Adapun org yg oleh Allah ditakdirkan ada penjamin kebutuhan hidupnya, maka tak boleh dikhotbahi dg hukum syariat yg itu. #NgajiHikam
83) Terlebih, anak muda dalam contoh di sini tdk sedang menganggur, akan tetapi beralih tugas >> #NgajiHikam
84) >> dari usaha mencari rezeki yg sudah ditanggung ayahnya itu, pada usaha mempelajari ilmu syariat & mendalami agama. #NgajiHikam
85) Maka jika pemuda seperti ini masih memaksakan diri utk berbisnis, berarti ia telah merosot dari cita2 yg tinggi. #NgajiHikam
Klik Link lengkap di bawah ini

"@sidogiri: #NgajiHikam Bab II. "Memahami Asbab dan Tajrid" by @sidogiri has been chirpified! http://t.co/jfD6Z9WcvR"

Selasa, 06 Mei 2014

SEMUA ADA MASANYA

Setiap kita punya drama hidup masing-masing...

Tak perlu galau kawan, karena
masalah punya takdirnya sendiri untuk selesai...

Bagi Allah sangat mudah untuk mendatangkan pertolongan disetiap waktu.

Kita hanya perlu menjadi seperti apa yang Allah inginkan, lalu menunggu hingga Allah memberi kita lebih dari yang kita inginkan.

Saat diuji, seorang mukmin akan terus mengilhami hatinya dengan satu keyakinan, bahwa apapun bentuku jian yang dihadapinya, ia hanyalah tanda cinta yang lain dari
Sang Maha Pencipta.

Dan semua itu tidak untuk
waktu yang lama...

Bukankah bila malam semakin larut pertanda fajar akan segera
menyongsong?

"Sungguh bersama kesulitan
itu ada kemudahan"

Jumat, 25 April 2014

DUNIA BAGAI TETES

''DUNIA UMPAMA AIR D JARI''

Sahabat Hikmah….

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam bersabda,

“Demi Allah, DUNIA ini dibanding AKHIRAT ibarat seseorang yang mencelupkan JARINYA ke LAUT; air yang TERSISA di JARINYA ketika diangkat itulah NILAI DUNIA ( akhirat = LAUT) ” (HR Muslim).

Bagaimana untuk memahami hadits di atas?

Kenikmatan di akhirat adalah kenikmatan di SURGA yang luasnya seluas LANGIT dan BUMI

Allah SWT berfirman : ” Dan BERSEGERALAH bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada SURGA yang luasnya SELUAS LANGIT dan BUMI yang disediakan untuk orang-orang yang berTAKWA.” (QS. Ali Imron : 133)

Adakah yang sudah bisa menembus batas LANGIT? Sampai sekarang tidak seorangpun yang mengetahui batas langit terluar. Sehingga diibaratkan LANGIT ini adalah LAUT, maka BUMI – bagian kecil dari LANGIT- hanyalah satu tetes air yang tersisa di jari bila dicelupkan ke LAUT.

Bahkan kenikmatan penduduk surga yang terakhir masuk ke dalamnya, dan juga yang terakhir keluar dari neraka, dia akan mendapatkan 10 kali dunia, sebagai sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam :

"....Allah Subhanahu wa Ta’ala berkata lagi kepadanya, ‘Pergilah, masuklah ke dalam surga! Sesungguhnya engkau memiliki semisal dunia dan sepuluh kalinya, atau engkau memiliki sepuluh kali dunia... " (Potongan HR Muslim )


Dan keniikmatan yang lebih indah dari surga adalah ‘merasakan’ ridha Allah dan kesempatan berjumpa dengan ‘WAJAH” Allah, Inilah puncak segala kenikmatan. Ketika itu kita akan benar-benar memahami hadits : ” Allah itu INDAH dan suka dengan KEINDAHAN”

Kenikmatan di Surga adalah kenikmatan yang tak mampu dibayangkan manusia, disana banyak keindahan yang tak pernah dilihat oleh mata, keindahan suara yang tak pernah didengar telinga, kenikmatan rasa yang tidak pernah dirasa oleh lidah, dan perasaan damai dan ketenangan yang sesungguhnya.

Jadi Sahabat…, Janganlah Silau dengan kenikmatan Dunia Yang semu… Semua itu hanyalah ujian dari Allah, untuk melihat siapa-siapa yang menjadi hamba-Nya dan siapa-siapa yang menjadi HAMBA DUNIA dan hawa nafsu syaithan…

Yang menjadi HAMBA2 ALLAH …mereka layak mendapatkan KENIKMATAN HIDUP yang SESUNGGUHNYA di SURGA.

Yang menjadi HAMBA2 DUNIA dan hawa nafsu SYAITHAN ….maka mereka layak bersama para SYAITHAN di NERAKA yang MENYALA.

Semoga ALLAH Subhanahu Wa Ta’Aala, selalu membimbing kita dan melindungi kita dari bujuk rayu SYAITHAN agar selamat dari SIKSA NERAKA dan selamat bisa menuju SURGANYA yang tiada tara, tiada terbayang, tiada terbatas NIKMATnya.., amiin

Wallahu a’alam bishowab

Minggu, 13 April 2014

Permulaan munculnya Muhammad ibn Abdil
Wahhab ini ialah di wilayah timur sekitar tahun
1143 H. Gerakannya yang dikenal dengan nama
Wahhabiyyah mulai tersebar di wilayah Nejd
dan daerah-daerah sekitarnya. Muhammad ibn
Abdil Wahhab meninggal pada tahun 1206 H. Ia
banyak menyerukan berbagai ajaran yang ia
anggap sebagai berlandaskan al-Qur’an dan
Sunnah. Ajarannya tersebut banyak ia ambil
atau tepatnya ia hidupkan kembali dari faham-
faham Ibn Taimiyah yang sebelumnya telah
padam, di antaranya; mengharamkan tawassul
dengan Rasulullah, mengharamkan perjalanan
untuk ziarah ke makam Rasulullah atau makam
lainnya dari para Nabi dan orang-orang saleh
untuk tujuan berdoa di sana dengan harapan
dikabulkan oleh Allah, mengkafirkan orang yang
memanggil dengan “Ya Rasulallah…!”, atau “Ya
Muhammad…!”, atau seumpama “Ya Abdul
Qadir…! Tolonglah aku…!” kecuali, menurut
mereka, bagi yang hidup dan yang ada di
hadapan saja, mengatakan bahwa talak
terhadap isteri tidak jatuh jika dibatalkan.
Menurutnya talak semacam itu hanya
digugurkan dengan membayar kaffarah saja,
seperti orang yang bersumpah dengan nama
Allah, namun ia menyalahinya.
Selain menghidupkan kembali faham-faham Ibn
Timiyyah, Muhammad ibn Abdil Wahhab juga
membuat faham baru, di antaranya;
mengharamkan mengenakan hirz (semacam
jimat) walaupun di dalamnya hanya terkandung
ayat-ayat al-Qur’an atau nama-nama Allah,
mengharamkan bacaan keras dalam shalawat
kepada Rasulullah setelah mengumandangkan
adzan. Kemudian para pengikutnya, yang kenal
dengan kaum Wahhabiyyah, mengharamkan
perayaan maulid nabi Muhammad. Hal ini
berbeda dengan Imam mereka; yaitu Ibn
Taimiyah, yang telah membolehkannya.
Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, mufti
Mekah pada masanya di sekitar masa akhir
kesultanan Utsmaniyyah, dalam kitab Târikh
yang beliau tulis menyebutkan sebagai berikut:
“Pasal; Fitnah kaum Wahhabiyyah. Dia -
Muhammad ibn Abdil Wahhab- pada
permulaannya adalah seorang penunut
ilmu di wilayah Madinah. Ayahnya adalah
salah seorang ahli ilmu, demikian pula
saudaranya; Syekh Sulaiman ibn Abdil
Wahhab. Ayahnya, yaitu Syekh Abdul
Wahhab dan saudaranya Syekh Sulaiman,
serta banyak dari guru-gurunya
mempunyai firasat bahwa Muhammad ibn
Abdil Wahhab ini akan membawa
kesesatan. Hal ini karena mereka melihat
dari banyak perkataan dan prilaku serta
penyelewengan-penyelewengan
Muhammad ibn Abdil Wahhab itu sendiri
dalam banyak permasalahan agama.
Mereka semua mengingatkan banyak
orang untuk mewaspadainya dan
menghindarinya. Di kemudian hari ternyata
Allah menentukan apa yang telah menjadi
firasat mereka pada diri Muhammad ibn
Abdil Wahhab. Ia telah banyak membawa
ajaran sesat hingga menyesatkan orang-
orang yang bodoh. Ajaran-ajarannya
tersebut banyak yang berseberangan
dengan para ulama agama ini. bahkan
dengan ajarannya itu ia telah mengkafirkan
orang-orang Islam sendiri. Ia mengatakan
bahwa ziarah ke makam Rasulullah,
tawassul dengannya, atau tawassul
dengan para nabi lainnya atau para wali
Allah dan orang-orang, serta menziarahi
kubur mereka untuk tujuan mencari berkah
adalah perbuatan syirik. Menurutnya
bahwa memanggil nama Nabi ketika
bertawassul adalah perbuatan syirik.
Demikian pula memanggil nabi-nabi
lainnya, atau memanggil para wali Allah
dan orang-orang saleh untuk tujuan
tawassul dengan mereka adalah perbuatan
syirik. Ia juga meyakini bahwa
menyandarkan sesuatu kepada selain
Allah, walaupun dengan cara majâzi
(metapor) adalah pekerjaan syirik, seperti
bila seseorang berkata: “Obat ini
memberikan manfa’at kepadaku” atau
“Wali Allah si fulan memberikan manfaat
apa bila bertawassul dengannya”. Dalam
menyebarkan ajarannya ini, Muhammad
ibn Abdil Wahhab mengambil beberapa
dalil yang sama sekali tidak
menguatkannya. Ia banyak memoles
ungkapan-ungkapan seruannya dengan
kata-kata yang menggiurkan dan muslihat
hingga banyak diikuti oleh orang-orang
awam. Dalam hal ini Muhammad ibn Abdil
Wahhab telah menulis beberapa risalah
untuk mengelabui orang-orang awam,
hingga banyak dari orang-orang awam
tersebut yang kemudian mengkafirkan
orang-orang Islam dari para ahli
tauhid” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h.
66).
Dalam kitab tersebut kemudian Syekh as-
Sayyid Ahmad Zaini Dahlan menuliskan:
“Banyak sekali dari guru-guru Muhammad
ibn Abdil Wahhab ketika di Madinah
mengatakan bahwa dia akan menjadi
orang yang sesat, dan akan banyak orang
yang akan sesat karenanya. Mereka
adalah orang-orang yang di hinakan oleh
Allah dan dijauhkan dari rahmat-Nya. Dan
kemudian apa yang dikhawatirkan oleh
guru-gurunya tersebut menjadi kenyataan.
Muhammad ibn Abdil Wahhab sendiri
mengaku bahwa ajaran yang ia serukannya
ini adalah sebagai pemurnian tauhid dan
untuk membebaskan dari syirik. Dalam
keyakinannya bahwa sudah sekitar enam
ratus tahun ke belakang dari masanya
seluruh manusia ini telah jatuh dalam
syirik dan kufur. Ia mengaku bahwa
dirinya datang untuk memperbaharui
agama mereka. Ayat-ayat al-Qur’an yang
turun tentang orang-orang musyrik ia
berlakukan bagi orang-orang Islam ahli
tauhid. Seperti firman Allah: “Dan siapakah
yang lebih sesat dari orang yang berdoa
kepada selain Allah; ia meminta kepada
yang tidak akan pernah mengabulkan
baginya hingga hari kiamat, dan mereka
yang dipinta itu lalai terhadap orang-
orang yang memintanya” (QS. al-Ahqaf:
5), dan firman-Nya: “Dan janganlah
engkau berdoa kepada selain Allah
terhadap apa yang tidak memberikan
manfa’at bagimu dan yang tidak
memberikan bahaya bagimu, jika bila
engkau melakukan itu maka engkau
termasuk orang-orang yang zhalim” (QS.
Yunus: 106), juga firman-Nya: ”Dan
mereka yang berdoa kepada selain Allah
sama sekali tidak mengabulkan suatu
apapun bagi mereka” (QS. al-Ra’ad: 1),
serta berbagai ayat lainnya. Muhammad
ibn Abdil Wahhab mengatakan bahwa
siapa yang meminta pertolongan kepada
Rasulullah atau para nabi lainnya, atau
kepada para wali Allah dan orang-orang
saleh, atau memanggil mereka, atau juga
meminta syafa’at kepada mereka maka
yang melakukan itu semua sama dengan
orang-orang musyrik, dan menurutnya
masuk dalam pengertian ayat-ayat di
atas. Ia juga mengatakan bahwa ziarah ke
makam Rasulullah atau para nabi lainnya,
atau para wali Allah dan orang-orang
saleh untuk tujuan mencari berkah maka
sama dengan orang-orang musyrik di
atas. Dalam al-Qur’an Allah berfirman
tentang perkataan orang-orang musyrik
saat mereka menyembah berhala:
“Tidaklah kami menyembah mereka -
berhala-berhala- kecuali untuk
mendekatkan diri kepada Allah” (QS. al-
Zumar: 3), menurut Muhammad ibn Abdil
Wahhab bahwa orang-orang yang
melakukan tawassul sama saja dengan
orang-orang musyrik para penyembah
berhala yang mengatakan tidaklah kami
menyembah berhala-berhala tersebut
kecuali untuk mendekatkan diri kepada
Allah” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h.
67).
Pada halaman selanjutnya Syekh as-Sayyid
Ahmad Zaini Dahlan menuliskan:
“Al-Bukhari telah meriwayatkan dari
Abdullah ibn Umar dari Rasulullah dalam
menggambarkan sifat-sifat orang Khawarij
bahwa mereka mengutip ayat-ayat yang
turun tentang orang-orang kafir dan
memberlakukannya bagi orang-orang
mukmin. Dalam Hadits lain dari riwayat
Abdullah ibn Umar pula bahwa Rasulullah
telah bersabda: “Hal yang paling aku
takutkan di antara perkara yang aku
khawatirkan atas umatku adalah
seseorang yang membuat-buat takwil al-
Qur’an, ia meletakan -ayat-ayat al-Qur’an
tersebut- bukan pada tempatnya”. Dua
riwayat Hadits ini benar-benar telah
terjadi pada kelompok Wahhabiyyah
ini” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 68).
Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan masih
dalam buku tersebut menuliskan pula:
“Di antara yang telah menulis karya
bantahan kepada Muhammad ibn Abdil
Wahhab adalah salah seorang guru
terkemukanya sendiri, yaitu Syekh
Muhammad ibn Sulaiman al-Kurdi, penulis
kitab Hâsyiah Syarh Ibn Hajar Alâ Matn Bâ
Fadlal. Di antara tulisan dalam karyanya
tersebut Syekh Sulaiman mengatakan:
Wahai Ibn Abdil Wahhab, saya
menasehatimu untuk menghentikan
cacianmu terhadap orang-orag Islam” (al-
Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 69).
Masih dalam kitab yang sama Syekh as-Sayyid
Ahmad Zaini Dahlan juga menuliskan:
“Mereka (kaum Wahhabiyyah) malarang
membacakan shalawat atas Rasulullah
setelah dikumandangkan adzan di atas
menara-menara. Bahkan disebutkan ada
seorang yang saleh yang tidak memiliki
penglihatan, beliau seorang
pengumandang adzan. Suatu ketika
setelah mengumandangkan adzan ia
membacakan shalawat atas Rasulullah, ini
setelah adanya larangan dari kaum
Wahhabiyyah untuk itu. Orang saleh buta
ini kemudian mereka bawa ke hadapan
Muhammad ibn Abdil Wahhab, selanjutnya
ia memerintahkan untuk dibunuh. Jika
saya ungkapkan bagimu seluruh apa yang
diperbuat oleh kaum Wahhabiyyah ini
maka banyak jilid dan kertas dibutuhkan
untuk itu, namun setidaknya sekedar
inipun cukup” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j.
2, h. 77).
Di antara bukti kebenaran apa yang telah ditulis
oleh Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan
dalam pengkafiran kaum Wahhabiyyah terhadap
orang yang membacakan shalawat atas
Rasulullah setelah dikumandangkan adzan
adalah peristiwa yang terjadi di Damaskus Siria
(Syam). Suatu ketika pengumandang adzan
masjid Jami’ al-Daqqaq membacakan shalawat
atas Rasulullah setelah adzan, sebagaimana
kebiasaan di wilayah itu, ia berkata: “as-Shalât
Wa as-Salâm ‘Alayka Ya Rasûlallâh…!”, dengan
nada yang keras. Tiba-tiba seorang Wahhabi
yang sedang berada di pelataran masjid
berteriak dengan keras: “Itu perbuatan haram,
itu sama saja dengan orang yang mengawini
ibunya sendiri…”. Kemudian terjadi pertengkaran
antara beberapa orang Wahhabi dengan orang-
orang Ahlussunnah, hingga orang Wahhabi
tersebut dipukuli. Akhirnya perkara ini dibawa
ke mufti Damaskus saat itu, yaitu Syekh Abu
al-Yusr Abidin. Kemudian mufti Damaskus ini
memanggil pimpinan kaum Wahhabiyyah, yaitu
Nashiruddin al-Albani, dan membuat perjanjian
dengannya untuk tidak menyebarkan ajaran
Wahhabi. Syekh Abu al-Yusr mengancamnya
bahwa jika ia terus mengajarkan ajaran
Wahhabi maka ia akan dideportasi dari Siria.
Kemudian Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan
menuliskan:
“Muhammad ibn Abdil Wahhab, perintis
berbagai gerakan bid’ah ini, sering
menyampaikan khutbah jum’at di masjid
ad-Dar’iyyah. Dalam seluruh khutbahnya
ia selalu mengatakan bahwa siapapun
yang bertawassul dengan Rasulullah maka
ia telah menjadi kafir. Sementara itu
saudaranya sendiri, yaitu Syekh Sulaiman
ibn Abdil Wahhab adalah seorang ahli
ilmu. Dalam berbagai kesempatan,
saudaranya ini selalu mengingkari
Muhammad ibn Abdil Wahhab dalam apa
yang dia lakukan, ucapakan dan segala
apa yang ia perintahkan. Sedikitpun, Syekh
Sulaiman ini tidak pernah mengikuti
berbagai bid’ah yang diserukan olehnya.
Suatu hari Syekh Sulaiman berkata
kepadanya: “Wahai Muhammad Berapakah
rukun Islam?” Muhammad ibn Abdil
Wahhab menjawab: “Lima”. Syekh
Sulaiman berkata: “Engkau telah
menjadikannya enam, dengan
menambahkan bahwa orang yang tidak
mau mengikutimu engkau anggap bukan
seorang muslim”.
Suatu hari ada seseorang berkata kepada
Muhammad ibn Abdil Wahhab: “Berapa
banyak orang yang Allah merdekakan (dari
neraka) di setiap malam Ramadlan? Ia
menjawab: “Setiap malam Ramadlan Allah
memerdekakan seratus ribu orang, dan di
akhir malam Allah memerdekakan
sejumlah orang yang dimerdekakan dalam
sebulan penuh”. Tiba-tiba orang tersebut
berkata: “Seluruh orang yang mengikutimu
jumlah mereka tidak sampai sepersepuluh
dari sepersepuluh jumlah yang telah
engkau sebutkan, lantas siapakah orang-
orang Islam yang dimerdekakan Allah
tersebut?! Padahal menurutmu orang-
orang Islam itu hanyalah mereka yang
mengikutimu”. Muhammad ibn Abdil
Wahhab terdiam tidak memiliki jawaban.
Ketika perselisihan antara Muhammad ibn
Abdil Wahhab dengan saudaranya; Syekh
Sulaiman semakin memanas, saudaranya
ini akhirnya khawatir terhadap dirinya
sendiri. Karena bisa saja Muhammad ibn
Abdil Wahhab sewaktu-waktu menyuruh
seseorang untuk membunuhnya. Akhirnya
ia hijrah ke Madinah, kemudian menulis
karya sebagai bantahan kepada
Muhammad ibn Abdil Wahhab yang
kemudian ia kirimkan kepadanya. Namun,
Muhammad ibn Abdil Wahhab tetap tidak
bergeming dalam pendirian sesatnya.
Demikian pula banyak para ulama
madzhab Hanbali yang telah menulis
berbagai risalah bantahan terhadap
Muhammad ibn Abdil Wahhab yang
mereka kirimkan kepadanya. Namun tetap
Muhammad ibn Abdil Wahhab tidak
berubah sedikitpun.
Suatu ketika, salah seorang kepala sautu
kabilah yang cukup memiliki kekuatan
hingga hingga Muhammad ibn Abdil
Wahhab tidak dapat menguasainya berkata
kepadanya: ”Bagaimana sikapmu jika ada
seorang yang engkau kenal sebagai orang
yang jujur, amanah, dan memiliki ilmu
agama berkata kepadamu bahwa di
belakang suatu gunung terdapat banyak
orang yang hendak menyerbu dan
membunuhmu, lalu engkau kirimkan seribu
pasukan berkuda untuk medaki gunung itu
dan melihat orang-orang yang hendak
membunuhmu tersebut, tapi ternyata
mereka tidak mendapati satu orangpun di
balik gunung tersebut, apakah engkau
akan membenarkan perkataan yang seribu
orang tersebut atau satu orang tadi yang
engkau anggap jujur?” Muhammad ibn
Abdil Wahhab menjawab: ”Saya akan
membenarkan yang seribu orang”.
Kemudian kepada kabilah tersebut berkata:
”Sesungguhnya para ulama Islam, baik
yang masih hidup maupun yang sudah
meninggal, dalam karya-karya mereka
telah mendustakan ajaran yang engkau
bawa, mereka mengungkapkan bahwa
ajaran yang engkau bawa adalah sesat,
karena itu kami mengikuti para ulama
yang banyak tersebut dalam menyesatkan
kamu”. Saat itu Muhammad ibn Abdil
Wahhab sama sekali tidak berkata-kata.
Terjadi pula peristiwa, suatu saat
seseorang berkata kepada Muhammad ibn
Abdil Wahhab: ”Ajaran agama yang engkau
bawa ini apakah ini bersambung (hingga
Rasulullah) atau terputus?”. Muhammad
ibn Abdil Wahhab menjawab: ”Seluruh
guru-guruku, bahkan guru-guru mereka
hingga enam ratus tahun lalu, semua
mereka adalah orang-orang musyrik”.
Orang tadi kemudian berkata: ”Jika
demikian ajaran yang engkau bawa ini
terputus! Lantas dari manakah engkau
mendapatkannya?” Ia menjawab: ”Apa
yang aku serukan ini adalah wahyu ilham
seperti Nabi Khadlir”. Kemudian orang
tersebut berkata: ”Jika demikian berarti
tidak hanya kamu yang dapat wahyu
ilham, setiap orang bisa mengaku bahwa
dirinya telah mendapatkan wahyu ilham.
Sesungguhnya melakukan tawassul itu
adalah perkara yang telah disepakati di
kalangan Ahlussunnah, bahkan dalam hal
ini Ibn Taimiyah memiliki dua pendapat, ia
sama sekali tidak mengatakan bahwa
orang yang melakukan tawassul telah
menjadi kafir” (ad-Durar as-Saniyyah Fî
ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah, h. 42-43).
Yang dimaksud oleh Muhammad ibn Abdil
Wahhab bahwa orang-orang terdahulu dalam
keadaan syirik hingga enam ratus tahun ke
belakang dari masanya ialah hingga tahun
masa hidup Ibn Taimiyah, yaitu hingga sekitar
abad tujuh dan delapan hijriyah ke belakang.
Menurut Muhammad ibn Abdil Wahhab dalam
rentang masa antara hidup Ibn Taimiyah, yaitu
di abad tujuh dan delapan hijriyah dengan masa
hidupnya sendiri yaitu pada abad dua belas
hijriyah, semua orang di dalam masa tersebut
adalah orang-orang musyrik. Ia memandang
dirinya sendiri sebagai orang yang datang untuk
memperbaharui tauhid. Dan ia menganggap
bahwa hanya Ibn Taimiyah yang selaras dengan
jalan dakwah dirinya. Menurutnya, Ibn Taimiyah
di masanya adalah satu-satunya orang yang
menyeru kepada Islam dan tauhid di mana saat
itu Islam dan tauhid tersebut telah punah. Lalu
ia mengangap bahwa hingga datang abad dua
belas hijriyah, hanya dirinya seorang saja yang
melanjutkan dakwah Ibn Taimiyah tersebut.
Klaim Muhammad ibn Abdil Wahhab ini
sungguh sangat sangat aneh, bagaimana ia
dengan sangat berani mengakafirkan mayoritas
umat Islam Ahlussunnah yang jumlahnya
ratusan juta, sementara ia menganggap bahwa
hanya pengikutnya sendiri yang benar-benar
dalam Islam?! Padahal jumalah mereka di
masanya hanya sekitar seratus ribu orang.
Kemudian di Najd sendiri, yang merupakan basis
gerakannya saat itu, mayoritas penduduk
wilayah tersebut di masa hidup Muhammad ibn
Abdil Wahhab tidak mengikuti ajaran dan
faham-fahamnya. Hanya saja memang saat itu
banyak orang di wilayah tersebut takut terhadap
dirinya, oleh karena prilakunya yang tanpa
segan membunuh orang-orang yang tidak mau
mengikuti ajakannya.
Prilaku jahat Muhammad ibn Abdil Wahhab ini
sebagaimana diungkapkan oleh al-Amir ash-
Shan’ani, penulis kitab Subul as-Salâm Syarh
Bulûgh al-Marâm. Pada awalnya, ash-Shan’ani
memuji-muji dakwah Muhammad ibn Abdil
Wahhab, namun setelah ia mengetahui hakekat
siapa Muhammad ibn Abdil Wahhab, ia
kemudian berbalik mengingkarinya. Sebelum
mengetahui siapa hakekat Muhammad ibn Abdil
Wahhab, ash-Shan’ani memujinya dengan
menuliskan beberapa sya’ir, yang pada awal
bait sya’ir-sya’ir tersebut ia mengatakan:
ﺳَﻼَﻡٌ ﻋَﻠَﻰ ﻧَﺠْﺪٍ ﻭَﻣَﻦْ ﺣَﻞّ ﻓِﻲ ﻧَﺠْﺪِ ﻭَﺇﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﺗَﺴْﻠِﻴْﻤِﻲْ
ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺒُﻌْﺪِ ﻻَ ﻳﺠْﺪِﻱ
“Salam tercurah atas kota Najd dan atas
orang-orang yang berada di dalamnya,
walaupun salamku dari kejauhan tidak
mencukupi”.
Bait-bait sya’ir tulisan ash-Shan’ani ini
disebutkan dalam kumpulan sya’ir-sya’ir
(Dîwân) karya ash-Shan’ani sendiri, dan telah
diterbitkan. Secara keseluruhan, bait-bait syair
tersebut juga dikutip oleh as-Syaukani dalam
karyanya berjudul al-Badr at-Thâli’, juga dikutip
oleh Shiddiq Hasan Khan dalam karyanya
berjudul at-Tâj al-Mukallal, yang oleh karena
itu Muhammad ibn Abdil Wahhab mendapatkan
tempat di hati orang-orang yang tidak
mengetahui hakekatnya. Padahal al-Amir ash-
Shan’ani setelah mengetahui bahwa prilaku
Muhammad ibn Abdil Wahhab selalu membunuh
orang-orang yang tidak sepaham dengannya,
merampas harta benda orang lain, mengkafirkan
mayoritas umat Islam, maka ia kemudian
meralat segala pujian terhadapnya yang telah ia
tulis dalam bait-bait syairnya terdahulu, yang
lalu kemudian balik mengingkarinya. Ash-
Shan’ani kemudian membuat bait-bait sya’ir
baru untuk mengingkiari apa yang telah
ditulisnya terdahulu, di antaranya sebagai
berikut:
ﺭَﺟَﻌْﺖُ ﻋَﻦ ﺍﻟﻘَﻮﻝ ﺍﻟّﺬﻱْ ﻗُﻠﺖُ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨّﺠﺪِﻱ ﻓﻘَﺪْ ﺻﺢَّ ﻟِﻲ
ﻋﻨﻪُ ﺧﻼَﻑُ ﺍﻟّﺬِﻱ ﻋﻨﺪِﻱ
ﻇﻨَﻨْﺖُ ﺑﻪِ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻓَﻘُـﻠْﺖُ ﻋَـﺴَﻰ ﻋَـﺴَﻰ ﻧَﺠِﺪْ ﻧَﺎﺻِﺤًﺎ ﻳَﻬْﺪﻱ
ﺍﻟﻌﺒَﺎﺩَ ﻭَﻳﺴﺘﻬْﺪِﻱ
ﻟﻘَﺪ ﺧَـﺎﺏَ ﻓﻴْﻪ ﺍﻟﻈﻦُّ ﻻَ ﺧَﺎﺏ ﻧﺼـﺤُﻨﺎ ﻭﻣَـﺎ ﻛﻞّ ﻇَـﻦٍّ
ﻟﻠﺤَﻘَﺎﺋِﻖ ﻟِﻲ ﻳﻬﺪِﻱ
ﻭﻗَـﺪْ ﺟـﺎﺀَﻧﺎ ﻣﻦ ﺃﺭﺿِـﻪ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻣِﺮْﺑَﺪُ ﻓﺤَﻘّﻖ ﻣِﻦْ ﺃﺣـﻮَﺍﻟﻪ
ﻛﻞّ ﻣَﺎ ﻳﺒـﺪِﻱ
ﻭﻗَـﺪ ﺟَـﺎﺀَ ﻣِـﻦ ﺗﺄﻟﻴــﻔِﻪِ ﺑﺮَﺳَـﺎﺋﻞ ﻳُﻜَـﻔّﺮ ﺃﻫْﻞَ ﺍﻷﺭْﺽ ﻓﻴْﻬَﺎ
ﻋَﻠَﻰ ﻋَﻤﺪِ
ﻭﻟـﻔﻖ ﻓِـﻲ ﺗَﻜْـﻔِﻴﺮِﻫﻢْ ﻛﻞ ﺣُــﺠّﺔٍ ﺗَﺮَﺍﻫـﺎ ﻛﺒَﻴﺖِ ﺍﻟﻌﻨْﻜَﺒﻮﺕِ
ﻟﺪَﻯ ﺍﻟﻨّﻘﺪِ
“Aku ralat ucapanku yang telah aku
ucapkan tentang seorang yang berasal
dari Najd, sekarang aku telah mengetahui
kebenaran yang berbeda dengan
sebelumnya”.
“Dahulu aku berbaik sangka baginya,
dahulu aku berkata: Semoga kita
mendapati dirinya sebagi seorang pemberi
nasehat dan pemeberi petunjuk bagi orang
banyak”
“Ternyata prasangka baik kita tentangnya
adalah kehampaan belaka. Namun
demikian bukan berarti nasehat kita juga
merupakan kesia-siaan, karena
sesungguhnya setiap prasangka itu
didasarkan kepada ketaidaktahuan akan
hakekat-hakekat”.
“Telah datang kepada kami “Syekh” ini
dari tanah asalnya. Dan telah menjadi
jelas bagi kami dengan sejelas-jelasnya
tentang segala hakekat keadaannya dalam
apa yang ia tampakkan”.
“Telah datang dalam beberapa tulisan
risalah yang telah ia tuliskan, dengan
sengaja di dalamnya ia mengkafirkan
seluruh orang Islam penduduk bumi, -
selain pengikutnya sendiri-”.
“Seluruh dalil yang mereka jadikan
landasan dalam mengkafirkan seluruh
orang Islam penduduk bumi tersebut jika
dibantah maka landasan mereka tersebut
laksana sarang laba-laba yang tidak
memiliki kekuatan”.
Selain bait-bait sya’ir di atas terdapat
lanjutannya yang cukup panjang, dan ash-
Shan’ani sendiri telah menuliskan penjelasan
(syarh) bagi bait-bait syair tersebut. Itu semua
ditulis oleh ash-Shan’ani hanya untuk
membuka hekekat Muhammad ibn Abdil
Wahhab sekaligus membantah berbagai sikap
ekstrim dan ajaran-ajarannya. Kitab karya al-
Amir ash-Shan’ani ini beliau namakan dengan
judul “Irsyâd Dzawî al-Albâb Ilâ Haqîqat Aqwâl
Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb”.
Saudara kandung Muhammad ibn Abdil Wahhab
yang telah kita sebutkan di atas, yaitu Syekh
Sulaiman ibn Abdil Wahhab, juga telah
menuliskan karya bantahan kepadanya. Beliau
namakan karyanya tersebut dengan judul ash-
Shawâ-iq al-Ilâhiyyah Fî al-Radd ‘Alâ al-
Wahhâbiyyah, dan buku ini telah dicetak.
Kemudian terdapat karya lainnya dari Syekh
Suliman, yang juga merupakan bantahan kepada
Muhammad ibn Abdil Wahhab dan para
pengikutnya, berjudul “Fashl al-Khithâb Fî ar-
Radd ‘Alâ Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb”.
Kemudian pula salah seorang mufti madzhab
Hanbali di Mekah pada masanya, yaitu Syekh
Muhammad ibn Abdullah an-Najdi al-Hanbali,
wafat tahun 1295 hijriyah, telah menulis sebuah
karya berjudul “as-Suhub al-Wâbilah ‘Alâ
Dlarâ-ih al-Hanâbilah”. Kitab ini berisi
penyebutan biografi ringkas setiap tokoh
terkemuka di kalangan madzhab Hanbali. Tidak
sedikitpun nama Muhammad ibn Abdil Wahhab
disebutkan dalam kitab tersebut sebagai orang
yang berada di jajaran tokoh-tokoh madzhab
Hanbali tersebut. Sebaliknya, nama Muhammad
ibn Abdil Wahhab ditulis dengan sangat buruk,
namanya disinggung dalam penyebutan nama
ayahnya; yaitu Syekh Abdul Wahhab ibn
Sulaiman. Dalam penulisan biografi ayahnya ini
Syekh Muhammad ibn Abdullah an-Najdi
mengatakan sebagai berikut:
“Dia (Abdul Wahhab ibn Sulaiman) adalah
ayah kandung dari Muhammad yang
ajaran sesatnya telah menyebar ke
berbagai belahan bumi. Antara ayah dan
anak ini memiliki perbedaan faham yang
sangat jauh, dan Muhammad ini baru
menampakan secara terang-terangan
terhadap segala faham dan ajaran-
ajarannya setelah kematian ayahnya. Aku
telah diberitahukan langsung oleh
beberapa orang dari sebagian ulama dari
beberapa orag yang hidup semasa dengan
Syekh Abdul Wahhab, bahwa ia sangat
murka kepada anaknya; Muhammad.
Karena Muhammad ini tidak mau
mempelajari ilmu fiqih (dan ilmu-ilmu
agama lainnya) seperti orang-orang
pendahulunya. Ayahnya ini juga
mempunyai firasat bahwa pada diri
Muhammad akan terjadi kesesatan yang
sanat besar. Kepada banyak orang Syekh
Abdul Wahhab selalu mengingatkan:
”Kalian akan melihat dari Muhammad ini
suatu kejahatan...”. Dan ternyata memang
Allah telah mentaqdirkan apa yang telah
menjadi firasat Syekh Abdul Wahhab ini.
Demikian pula dengan saudara
kandungnya, yaitu Syekh Sulaiman ibn
Abdil Wahhab, ia sangat mengingkari
sepak terjang Muhammad. Ia banyak
membantah saudaranya tersebut dengan
berbagai dalil dari ayat-ayat al-Qur’an
dan Hadits-Hadits, karena Muhammad
tidak mau menerima apapun kecuali hanya
al-Qur’an dan Hadits saja. Muhammad
sama sekali tidak menghiraukan apapun
yang dinyatakan oleh para ulama, baik
ulama terdahulu atau yang semasa
dengannya. Yang ia terima hanya
perkataan Ibn Taimiyah dan muridnya; Ibn
al-Qayyim al-Jawziyyah. Apapun yang
dinyatakan oleh dua orang ini, ia pandang
laksana teks yang tidak dapat diganggu
gugat. Kepada banyak orang ia selalu
mempropagandakan pendapat-pendapat
Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim, sekalipun
terkadang dengan pemahaman yang sama
sekali tidak dimaksud oleh keduanya.
Syekh Sulaiman menamakan karya
bantahan kepadanya dengan judul Fashl
al-Khithâb Fî ar-Radd ‘Alâ Muhammad Ibn
’Abd al-Wahhâb.
Syekh Sulaiman ini telah diselamatkan
oleh Allah dari segala kejahatan dan
marabahaya yang ditimbulkan oleh
Muhammad, yang padahal hal tersebut
sangat menghkawatirkan siapapun. Karena
Muhammad ini, apa bila ia ditentang oleh
seseorang dan ia tidak kuasa untuk
membunuh orang tersebut dengan
tangannya sendiri maka ia akan
mengirimkan orangnya untuk membunuh
orang itu ditempat tidurnya, atau
membunuhnya dengan cara
membokongnya di tempat-tempat
keramaian di malam hari, seperti di pasar.
Ini karena Muhammad memandang bahwa
siapapun yang menentangnya maka orang
tersebut telah menjadi kafir dan halal
darahnya.
Disebutkan bahwa di suatu wilayah
terdapat seorang gila yang memiliki
kebiasaan membunuh siapapun yang ada
di hadapannya. Kemudian Muhammad
memerintahkan orang-orangnya untuk
memasukkan orang gila tersebut dengan
pedang ditangannya ke masjid di saat
Syekh Sulaiman sedang sendiri di sana.
Ketika orang gila itu dimasukan, Syekh
Sulaiman hanya melihat kepadanya, dan
tiba-tiba orang gila tersebut sangat
ketakutan darinya. Kemudian orang gila
tersebut langsung melemparkankan
pedangnya, sambil berkata: ”Wahai
Sulaiman janganlah engkau takut,
sesungguhnya engkau adalah termasuk
orang-orang yang aman”. Orang gila itu
mengulang-ulang kata-katanya tersebut.
Tidak diragukan lagi bahwa hal ini jelas
merupakan karamah” (as-Suhub al-
Wâbilah Ala Dlara-ih al-Hanbilah, h. 275).
Dalam tulisan Syekh Muhammad ibn Abdullah
an-Najdi di atas disebutkan bahwa Syekh Abdul
Wahhab sangat murka sekali kepada anaknya;
Muhammad, karena tidak mau mempelajari ilmu
fiqih, ini artinya bahwa dia sama sekali bukan
seorang ahli fiqih dan bukan seorang ahli
Hadits. Adapun yang membuat dia sangat
terkenal tidak lain adalah karena ajarannya
yang sangat ekstrim dan nyeleneh. Sementara
para pengikutnya yang sangat mencintainya,
hingga mereka menggelarinya dengan Syekh al-
Islâm atau Mujaddid, adalah klaim laksana
panggang yang sangat jauh dari api. Para
pengikutnya yang lalai dan terlena tersebut
hendaklah mengetahui dan menyadari bahwa
tidak ada seorangpun dari sejarawan terkemuka
di abad dua belas hijriyah yang mengungkap
biografi Muhammad ibn Abdil Wahhab dengan
menyebutkan bahwa dia adalah seorang ahli
fiqih atau seorang ahli Hadits.
Syekh Ibn Abidin al-Hanafi dalam karyanya;
Hâsyiyah Radd al-Muhtâr ‘Alâ ad-Durr al-
Mukhtâr menuslikan sebagai berikut:
“Penjelasan; Prihal para pengikut
Muhammad ibn Abdil Wahhab sebagai
kaum Khawarij di zaman kita ini.
Pernyataan pengarang kitab (yang saya
jelaskan ini) tentang kaum Khawarij: “Wa
Yukaffirûn Ash-hâba Nabiyyina…”, bahwa
mereka adalah kaum yang mengkafirkan
para sahabat Rasulullah, artinya kaum
Khawarij tersebut bukan hanya
mengkafirkan para sahabat saja, tetapi
kaum Khawarij adalah siapapun mereka
yang keluar dari pasukan Ali ibn Abi Thalib
dan memberontak kepadanya. Kemudian
dalam keyakinan kaum Khawajij tersebut
bahwa yang memerangi Ali ibn Abi Thalib,
yaitu Mu’awiyah dan pengikutnya, adalah
juga orang-orang kafir. Kelompok Khawarij
ini seperti yang terjadi di zaman kita
sekarang, yaitu para pengikut Muhammad
ibn Abdil Wahhab yang telah memerangi
dan menguasai al-Haramain; Mekkah dan
Madinah. Mereka memakai kedok
madzhab Hanbali. Mereka meyakini bahwa
hanya diri mereka yang beragama Islam,
sementara siapapun yang menyalahi
mereka adalah orang-orang musyrik. Lalu
untuk menegakan keyakinan ini mereka
mengahalalkan membunuh orang-orang
Ahlussunnah. Oleh karenanya banyak di
antara ulama Ahlussunnah yang telah
mereka bunuh. Hingga kemudian Allah
menghancurkan kekuatan mereka dan
membumihanguskan tempat tinggal
mereka hingga mereka dikuasai oleh
balatentara orang-orang Islam, yaitu pada
tahun seribu dua ratus tiga puluh tiga
hijriyah (th 1233 H)” (Radd al-Muhtâr ‘Alâ
ad-Durr al-Mukhtâr, j. 4, h. 262; Kitab
tentang kaum pemberontak.).
Salah seorang ahli tafsir terkemuka; Syekh
Ahmad ash-Shawi al-Maliki dalam ta’lîq-nya
terhadap Tafsîr al-Jalâlain menuliskan sebagai
berikut:
“Menurut satu pendapat bahwa ayat ini
turun tentang kaum Khawarij, karena
mereka adakah kaum yang banyak
merusak takwil ayat-ayat al-Qur’an dan
Hadits-Hadits Rasulullah. Mereka
menghalalkan darah orang-orang Islam
dan harta-harta mereka. Dan kelompok
semacam itu pada masa sekarang ini
telah ada. Mereka itu adalah kelompok
yang berada di negeri Hijaz; bernama
kelompok Wahhabiyyah. Mereka mengira
bahwa diri mereka adalah orang-orang
yang benar dan terkemuka, padahal
mereka adalah para pendusta. Mereka
telah dikuasai oleh setan hingga mereka
lalai dari mengenal Allah. Mereka adalah
golongan setan, dan sesungguhnya
golongan setan adalah orang-orang yang
merugi. Kita berdo’a kepada Allah, semoga
Allah menghancurkan mereka” (Mir-ât an-
Najdiyyah, h. 86).
 — ‎bersama ‎Mohamad Zakuwan,Syaeful ArifinNo Wahabi, dan 45 lainnya‎.‎

Sabtu, 12 April 2014

''BATAS-BATAS''

''BUKAN MUHRIM''
percakapan antara seorang pemuda &Seorang wanita gaul bertanya pada seorang pemuda yang soleh)

Wanita: "Kenapa sih kamu nggak mau bersentuhan tangan denganku? Emangnya aku ini hina ya?"

Pemuda: "Bukan begitu Mba, Justru saya lakukan itu karena saya sangat menghargai Mba sebagai seorang wanita"

Wanita: "Maksudmu?"

Pemuda: "Coba saya tanya sama Mba, apakah boleh seorang rakyat jelata menyentuh tangan putri keraton yang dimuliakan?"

Wanita: (Sambil mengernyitkan dahi) "T..Tentu gak boleh sembarangan dong!"

Pemuda: "Nah, Islam mengajarkan bagaimana kami menghormati semua wanita layaknya ratu yang ceritakan tadi. Hanya pangeran saja yang layak menyentuh tuan putri".

Wanita: (Sambil agak malu) "Oh.. Terus kenapa sih mesti pakai menutup tubuh segala, pake kerudung lagi, jadi gak keliatan seksinya"

Pemuda : (Membuka sebuah rambutan, lalu memakannya sebagian. Dan mengambil sebuah lagi sambil menyodorkan 2 buah rambutan itu pada wanita tersebut) "Kalau Mba harus memilih, pilih rambutan yang sudah saya makan atau yang masih belum terbuka"

Wanita: (Sambil keheranan dan sedikit merasa jijik) "Hi.. Ya saya pilih yang masih utuh lah, mana mau saya makan bekas Mas".

Pemuda : (Sambil tersenyum) "Tepat sekali, semua orang pasti memilih yang utuh, bersih, terjaga begitu juga dengan wanita. Islam mensyariatkan wanita untuk berhijab dan menutup aurat semata-mata untuk kemuliaan wanita juga".

Wanita: "Terimakasih ya, aku semakin yakin untuk berhijab dan menutup aurat, Islam memang sangat memuliakan wanita.
Subhanallah. Ngomong-ngomong Mas sudah punya pacar belum?"

Pemuda: "Mmm.. Saya belum punya dan bertekad tidak akan punya pacar."

Wanita : (Kebingungan) "Loh, kenapa? Bukannya semua muda-mudi sekarang punya temen istimewa"

Pemuda: "Begini Mba, kira-kira kalau Mba diberi hadiah handphone, ingin yang bekas atau yang masih baru??"

Wanita: "Ya jelas yang baru lah"

Pemuda: "Kalau suatu saat Mba menikah, mau pakai baju loakan yang harganya Rp.50.000/3 potong atau gaun istimewa yang harganya Rp.20 juta keatas"

Wanita: "Ih.. Mas ini. Ya pasti saya pilih gaun istimewa, mana mau saya pakai baju loakan, udah bekas dipegang orang, gak steril lagi. hi..."

Pemuda: "Nah, begitu juga Islam memandang pacaran Mba. Kami, diajarkan untuk menjunjung ikatan suci bernama pernikahan. menjadi pasangan yang saling mencintai karenaNya. Yang menjaga kesucian dan kehormatan dirinya sebelum akad suci itu terucap. Karena kami hanya ingin mempersembahkan yang terbaik untuk pasangan kami kelak"

Wanita: (Hatinya berdebar-debar tak menentu, kata-kata pemuda tadi menjadi embun bagi hatinya yang selama ini hampa. Matanya pun menetes) "Mas, aku semakin merasa banyak dosa. Masihkah ada pintu taubat untukku dengan semua yang sudah aku lakukan?"

Pemuda: (Matanya berbinar, perkataannya berat) "Mba, jikalah diibaratkan seorang musafir kehilangan unta beserta makanan dan minumannya di gurun pasir yang tandus. Maka kebahagiaan Allah menerima taubat hambanya lebih besar dari kebahagiaan musafir yang menemukan untanya kembali. Kalaulah kita datang dengan membawa dosa seluas langit, Allah akan mendatangi kita dengan ampunan sebesar itu juga. Subhanallah".

Wanita: (Berderai air matanya, segera ia usap dengan tisunya) "Terimakasih Mas, saya banyak mendapatkan pencerahan hidup. Semoga saya bisa berubah lebih baik”

Pemuda: “Aamiin”