Minggu, 13 April 2014

Permulaan munculnya Muhammad ibn Abdil
Wahhab ini ialah di wilayah timur sekitar tahun
1143 H. Gerakannya yang dikenal dengan nama
Wahhabiyyah mulai tersebar di wilayah Nejd
dan daerah-daerah sekitarnya. Muhammad ibn
Abdil Wahhab meninggal pada tahun 1206 H. Ia
banyak menyerukan berbagai ajaran yang ia
anggap sebagai berlandaskan al-Qur’an dan
Sunnah. Ajarannya tersebut banyak ia ambil
atau tepatnya ia hidupkan kembali dari faham-
faham Ibn Taimiyah yang sebelumnya telah
padam, di antaranya; mengharamkan tawassul
dengan Rasulullah, mengharamkan perjalanan
untuk ziarah ke makam Rasulullah atau makam
lainnya dari para Nabi dan orang-orang saleh
untuk tujuan berdoa di sana dengan harapan
dikabulkan oleh Allah, mengkafirkan orang yang
memanggil dengan “Ya Rasulallah…!”, atau “Ya
Muhammad…!”, atau seumpama “Ya Abdul
Qadir…! Tolonglah aku…!” kecuali, menurut
mereka, bagi yang hidup dan yang ada di
hadapan saja, mengatakan bahwa talak
terhadap isteri tidak jatuh jika dibatalkan.
Menurutnya talak semacam itu hanya
digugurkan dengan membayar kaffarah saja,
seperti orang yang bersumpah dengan nama
Allah, namun ia menyalahinya.
Selain menghidupkan kembali faham-faham Ibn
Timiyyah, Muhammad ibn Abdil Wahhab juga
membuat faham baru, di antaranya;
mengharamkan mengenakan hirz (semacam
jimat) walaupun di dalamnya hanya terkandung
ayat-ayat al-Qur’an atau nama-nama Allah,
mengharamkan bacaan keras dalam shalawat
kepada Rasulullah setelah mengumandangkan
adzan. Kemudian para pengikutnya, yang kenal
dengan kaum Wahhabiyyah, mengharamkan
perayaan maulid nabi Muhammad. Hal ini
berbeda dengan Imam mereka; yaitu Ibn
Taimiyah, yang telah membolehkannya.
Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, mufti
Mekah pada masanya di sekitar masa akhir
kesultanan Utsmaniyyah, dalam kitab Târikh
yang beliau tulis menyebutkan sebagai berikut:
“Pasal; Fitnah kaum Wahhabiyyah. Dia -
Muhammad ibn Abdil Wahhab- pada
permulaannya adalah seorang penunut
ilmu di wilayah Madinah. Ayahnya adalah
salah seorang ahli ilmu, demikian pula
saudaranya; Syekh Sulaiman ibn Abdil
Wahhab. Ayahnya, yaitu Syekh Abdul
Wahhab dan saudaranya Syekh Sulaiman,
serta banyak dari guru-gurunya
mempunyai firasat bahwa Muhammad ibn
Abdil Wahhab ini akan membawa
kesesatan. Hal ini karena mereka melihat
dari banyak perkataan dan prilaku serta
penyelewengan-penyelewengan
Muhammad ibn Abdil Wahhab itu sendiri
dalam banyak permasalahan agama.
Mereka semua mengingatkan banyak
orang untuk mewaspadainya dan
menghindarinya. Di kemudian hari ternyata
Allah menentukan apa yang telah menjadi
firasat mereka pada diri Muhammad ibn
Abdil Wahhab. Ia telah banyak membawa
ajaran sesat hingga menyesatkan orang-
orang yang bodoh. Ajaran-ajarannya
tersebut banyak yang berseberangan
dengan para ulama agama ini. bahkan
dengan ajarannya itu ia telah mengkafirkan
orang-orang Islam sendiri. Ia mengatakan
bahwa ziarah ke makam Rasulullah,
tawassul dengannya, atau tawassul
dengan para nabi lainnya atau para wali
Allah dan orang-orang, serta menziarahi
kubur mereka untuk tujuan mencari berkah
adalah perbuatan syirik. Menurutnya
bahwa memanggil nama Nabi ketika
bertawassul adalah perbuatan syirik.
Demikian pula memanggil nabi-nabi
lainnya, atau memanggil para wali Allah
dan orang-orang saleh untuk tujuan
tawassul dengan mereka adalah perbuatan
syirik. Ia juga meyakini bahwa
menyandarkan sesuatu kepada selain
Allah, walaupun dengan cara majâzi
(metapor) adalah pekerjaan syirik, seperti
bila seseorang berkata: “Obat ini
memberikan manfa’at kepadaku” atau
“Wali Allah si fulan memberikan manfaat
apa bila bertawassul dengannya”. Dalam
menyebarkan ajarannya ini, Muhammad
ibn Abdil Wahhab mengambil beberapa
dalil yang sama sekali tidak
menguatkannya. Ia banyak memoles
ungkapan-ungkapan seruannya dengan
kata-kata yang menggiurkan dan muslihat
hingga banyak diikuti oleh orang-orang
awam. Dalam hal ini Muhammad ibn Abdil
Wahhab telah menulis beberapa risalah
untuk mengelabui orang-orang awam,
hingga banyak dari orang-orang awam
tersebut yang kemudian mengkafirkan
orang-orang Islam dari para ahli
tauhid” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h.
66).
Dalam kitab tersebut kemudian Syekh as-
Sayyid Ahmad Zaini Dahlan menuliskan:
“Banyak sekali dari guru-guru Muhammad
ibn Abdil Wahhab ketika di Madinah
mengatakan bahwa dia akan menjadi
orang yang sesat, dan akan banyak orang
yang akan sesat karenanya. Mereka
adalah orang-orang yang di hinakan oleh
Allah dan dijauhkan dari rahmat-Nya. Dan
kemudian apa yang dikhawatirkan oleh
guru-gurunya tersebut menjadi kenyataan.
Muhammad ibn Abdil Wahhab sendiri
mengaku bahwa ajaran yang ia serukannya
ini adalah sebagai pemurnian tauhid dan
untuk membebaskan dari syirik. Dalam
keyakinannya bahwa sudah sekitar enam
ratus tahun ke belakang dari masanya
seluruh manusia ini telah jatuh dalam
syirik dan kufur. Ia mengaku bahwa
dirinya datang untuk memperbaharui
agama mereka. Ayat-ayat al-Qur’an yang
turun tentang orang-orang musyrik ia
berlakukan bagi orang-orang Islam ahli
tauhid. Seperti firman Allah: “Dan siapakah
yang lebih sesat dari orang yang berdoa
kepada selain Allah; ia meminta kepada
yang tidak akan pernah mengabulkan
baginya hingga hari kiamat, dan mereka
yang dipinta itu lalai terhadap orang-
orang yang memintanya” (QS. al-Ahqaf:
5), dan firman-Nya: “Dan janganlah
engkau berdoa kepada selain Allah
terhadap apa yang tidak memberikan
manfa’at bagimu dan yang tidak
memberikan bahaya bagimu, jika bila
engkau melakukan itu maka engkau
termasuk orang-orang yang zhalim” (QS.
Yunus: 106), juga firman-Nya: ”Dan
mereka yang berdoa kepada selain Allah
sama sekali tidak mengabulkan suatu
apapun bagi mereka” (QS. al-Ra’ad: 1),
serta berbagai ayat lainnya. Muhammad
ibn Abdil Wahhab mengatakan bahwa
siapa yang meminta pertolongan kepada
Rasulullah atau para nabi lainnya, atau
kepada para wali Allah dan orang-orang
saleh, atau memanggil mereka, atau juga
meminta syafa’at kepada mereka maka
yang melakukan itu semua sama dengan
orang-orang musyrik, dan menurutnya
masuk dalam pengertian ayat-ayat di
atas. Ia juga mengatakan bahwa ziarah ke
makam Rasulullah atau para nabi lainnya,
atau para wali Allah dan orang-orang
saleh untuk tujuan mencari berkah maka
sama dengan orang-orang musyrik di
atas. Dalam al-Qur’an Allah berfirman
tentang perkataan orang-orang musyrik
saat mereka menyembah berhala:
“Tidaklah kami menyembah mereka -
berhala-berhala- kecuali untuk
mendekatkan diri kepada Allah” (QS. al-
Zumar: 3), menurut Muhammad ibn Abdil
Wahhab bahwa orang-orang yang
melakukan tawassul sama saja dengan
orang-orang musyrik para penyembah
berhala yang mengatakan tidaklah kami
menyembah berhala-berhala tersebut
kecuali untuk mendekatkan diri kepada
Allah” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h.
67).
Pada halaman selanjutnya Syekh as-Sayyid
Ahmad Zaini Dahlan menuliskan:
“Al-Bukhari telah meriwayatkan dari
Abdullah ibn Umar dari Rasulullah dalam
menggambarkan sifat-sifat orang Khawarij
bahwa mereka mengutip ayat-ayat yang
turun tentang orang-orang kafir dan
memberlakukannya bagi orang-orang
mukmin. Dalam Hadits lain dari riwayat
Abdullah ibn Umar pula bahwa Rasulullah
telah bersabda: “Hal yang paling aku
takutkan di antara perkara yang aku
khawatirkan atas umatku adalah
seseorang yang membuat-buat takwil al-
Qur’an, ia meletakan -ayat-ayat al-Qur’an
tersebut- bukan pada tempatnya”. Dua
riwayat Hadits ini benar-benar telah
terjadi pada kelompok Wahhabiyyah
ini” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 68).
Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan masih
dalam buku tersebut menuliskan pula:
“Di antara yang telah menulis karya
bantahan kepada Muhammad ibn Abdil
Wahhab adalah salah seorang guru
terkemukanya sendiri, yaitu Syekh
Muhammad ibn Sulaiman al-Kurdi, penulis
kitab Hâsyiah Syarh Ibn Hajar Alâ Matn Bâ
Fadlal. Di antara tulisan dalam karyanya
tersebut Syekh Sulaiman mengatakan:
Wahai Ibn Abdil Wahhab, saya
menasehatimu untuk menghentikan
cacianmu terhadap orang-orag Islam” (al-
Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 69).
Masih dalam kitab yang sama Syekh as-Sayyid
Ahmad Zaini Dahlan juga menuliskan:
“Mereka (kaum Wahhabiyyah) malarang
membacakan shalawat atas Rasulullah
setelah dikumandangkan adzan di atas
menara-menara. Bahkan disebutkan ada
seorang yang saleh yang tidak memiliki
penglihatan, beliau seorang
pengumandang adzan. Suatu ketika
setelah mengumandangkan adzan ia
membacakan shalawat atas Rasulullah, ini
setelah adanya larangan dari kaum
Wahhabiyyah untuk itu. Orang saleh buta
ini kemudian mereka bawa ke hadapan
Muhammad ibn Abdil Wahhab, selanjutnya
ia memerintahkan untuk dibunuh. Jika
saya ungkapkan bagimu seluruh apa yang
diperbuat oleh kaum Wahhabiyyah ini
maka banyak jilid dan kertas dibutuhkan
untuk itu, namun setidaknya sekedar
inipun cukup” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j.
2, h. 77).
Di antara bukti kebenaran apa yang telah ditulis
oleh Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan
dalam pengkafiran kaum Wahhabiyyah terhadap
orang yang membacakan shalawat atas
Rasulullah setelah dikumandangkan adzan
adalah peristiwa yang terjadi di Damaskus Siria
(Syam). Suatu ketika pengumandang adzan
masjid Jami’ al-Daqqaq membacakan shalawat
atas Rasulullah setelah adzan, sebagaimana
kebiasaan di wilayah itu, ia berkata: “as-Shalât
Wa as-Salâm ‘Alayka Ya Rasûlallâh…!”, dengan
nada yang keras. Tiba-tiba seorang Wahhabi
yang sedang berada di pelataran masjid
berteriak dengan keras: “Itu perbuatan haram,
itu sama saja dengan orang yang mengawini
ibunya sendiri…”. Kemudian terjadi pertengkaran
antara beberapa orang Wahhabi dengan orang-
orang Ahlussunnah, hingga orang Wahhabi
tersebut dipukuli. Akhirnya perkara ini dibawa
ke mufti Damaskus saat itu, yaitu Syekh Abu
al-Yusr Abidin. Kemudian mufti Damaskus ini
memanggil pimpinan kaum Wahhabiyyah, yaitu
Nashiruddin al-Albani, dan membuat perjanjian
dengannya untuk tidak menyebarkan ajaran
Wahhabi. Syekh Abu al-Yusr mengancamnya
bahwa jika ia terus mengajarkan ajaran
Wahhabi maka ia akan dideportasi dari Siria.
Kemudian Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan
menuliskan:
“Muhammad ibn Abdil Wahhab, perintis
berbagai gerakan bid’ah ini, sering
menyampaikan khutbah jum’at di masjid
ad-Dar’iyyah. Dalam seluruh khutbahnya
ia selalu mengatakan bahwa siapapun
yang bertawassul dengan Rasulullah maka
ia telah menjadi kafir. Sementara itu
saudaranya sendiri, yaitu Syekh Sulaiman
ibn Abdil Wahhab adalah seorang ahli
ilmu. Dalam berbagai kesempatan,
saudaranya ini selalu mengingkari
Muhammad ibn Abdil Wahhab dalam apa
yang dia lakukan, ucapakan dan segala
apa yang ia perintahkan. Sedikitpun, Syekh
Sulaiman ini tidak pernah mengikuti
berbagai bid’ah yang diserukan olehnya.
Suatu hari Syekh Sulaiman berkata
kepadanya: “Wahai Muhammad Berapakah
rukun Islam?” Muhammad ibn Abdil
Wahhab menjawab: “Lima”. Syekh
Sulaiman berkata: “Engkau telah
menjadikannya enam, dengan
menambahkan bahwa orang yang tidak
mau mengikutimu engkau anggap bukan
seorang muslim”.
Suatu hari ada seseorang berkata kepada
Muhammad ibn Abdil Wahhab: “Berapa
banyak orang yang Allah merdekakan (dari
neraka) di setiap malam Ramadlan? Ia
menjawab: “Setiap malam Ramadlan Allah
memerdekakan seratus ribu orang, dan di
akhir malam Allah memerdekakan
sejumlah orang yang dimerdekakan dalam
sebulan penuh”. Tiba-tiba orang tersebut
berkata: “Seluruh orang yang mengikutimu
jumlah mereka tidak sampai sepersepuluh
dari sepersepuluh jumlah yang telah
engkau sebutkan, lantas siapakah orang-
orang Islam yang dimerdekakan Allah
tersebut?! Padahal menurutmu orang-
orang Islam itu hanyalah mereka yang
mengikutimu”. Muhammad ibn Abdil
Wahhab terdiam tidak memiliki jawaban.
Ketika perselisihan antara Muhammad ibn
Abdil Wahhab dengan saudaranya; Syekh
Sulaiman semakin memanas, saudaranya
ini akhirnya khawatir terhadap dirinya
sendiri. Karena bisa saja Muhammad ibn
Abdil Wahhab sewaktu-waktu menyuruh
seseorang untuk membunuhnya. Akhirnya
ia hijrah ke Madinah, kemudian menulis
karya sebagai bantahan kepada
Muhammad ibn Abdil Wahhab yang
kemudian ia kirimkan kepadanya. Namun,
Muhammad ibn Abdil Wahhab tetap tidak
bergeming dalam pendirian sesatnya.
Demikian pula banyak para ulama
madzhab Hanbali yang telah menulis
berbagai risalah bantahan terhadap
Muhammad ibn Abdil Wahhab yang
mereka kirimkan kepadanya. Namun tetap
Muhammad ibn Abdil Wahhab tidak
berubah sedikitpun.
Suatu ketika, salah seorang kepala sautu
kabilah yang cukup memiliki kekuatan
hingga hingga Muhammad ibn Abdil
Wahhab tidak dapat menguasainya berkata
kepadanya: ”Bagaimana sikapmu jika ada
seorang yang engkau kenal sebagai orang
yang jujur, amanah, dan memiliki ilmu
agama berkata kepadamu bahwa di
belakang suatu gunung terdapat banyak
orang yang hendak menyerbu dan
membunuhmu, lalu engkau kirimkan seribu
pasukan berkuda untuk medaki gunung itu
dan melihat orang-orang yang hendak
membunuhmu tersebut, tapi ternyata
mereka tidak mendapati satu orangpun di
balik gunung tersebut, apakah engkau
akan membenarkan perkataan yang seribu
orang tersebut atau satu orang tadi yang
engkau anggap jujur?” Muhammad ibn
Abdil Wahhab menjawab: ”Saya akan
membenarkan yang seribu orang”.
Kemudian kepada kabilah tersebut berkata:
”Sesungguhnya para ulama Islam, baik
yang masih hidup maupun yang sudah
meninggal, dalam karya-karya mereka
telah mendustakan ajaran yang engkau
bawa, mereka mengungkapkan bahwa
ajaran yang engkau bawa adalah sesat,
karena itu kami mengikuti para ulama
yang banyak tersebut dalam menyesatkan
kamu”. Saat itu Muhammad ibn Abdil
Wahhab sama sekali tidak berkata-kata.
Terjadi pula peristiwa, suatu saat
seseorang berkata kepada Muhammad ibn
Abdil Wahhab: ”Ajaran agama yang engkau
bawa ini apakah ini bersambung (hingga
Rasulullah) atau terputus?”. Muhammad
ibn Abdil Wahhab menjawab: ”Seluruh
guru-guruku, bahkan guru-guru mereka
hingga enam ratus tahun lalu, semua
mereka adalah orang-orang musyrik”.
Orang tadi kemudian berkata: ”Jika
demikian ajaran yang engkau bawa ini
terputus! Lantas dari manakah engkau
mendapatkannya?” Ia menjawab: ”Apa
yang aku serukan ini adalah wahyu ilham
seperti Nabi Khadlir”. Kemudian orang
tersebut berkata: ”Jika demikian berarti
tidak hanya kamu yang dapat wahyu
ilham, setiap orang bisa mengaku bahwa
dirinya telah mendapatkan wahyu ilham.
Sesungguhnya melakukan tawassul itu
adalah perkara yang telah disepakati di
kalangan Ahlussunnah, bahkan dalam hal
ini Ibn Taimiyah memiliki dua pendapat, ia
sama sekali tidak mengatakan bahwa
orang yang melakukan tawassul telah
menjadi kafir” (ad-Durar as-Saniyyah Fî
ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah, h. 42-43).
Yang dimaksud oleh Muhammad ibn Abdil
Wahhab bahwa orang-orang terdahulu dalam
keadaan syirik hingga enam ratus tahun ke
belakang dari masanya ialah hingga tahun
masa hidup Ibn Taimiyah, yaitu hingga sekitar
abad tujuh dan delapan hijriyah ke belakang.
Menurut Muhammad ibn Abdil Wahhab dalam
rentang masa antara hidup Ibn Taimiyah, yaitu
di abad tujuh dan delapan hijriyah dengan masa
hidupnya sendiri yaitu pada abad dua belas
hijriyah, semua orang di dalam masa tersebut
adalah orang-orang musyrik. Ia memandang
dirinya sendiri sebagai orang yang datang untuk
memperbaharui tauhid. Dan ia menganggap
bahwa hanya Ibn Taimiyah yang selaras dengan
jalan dakwah dirinya. Menurutnya, Ibn Taimiyah
di masanya adalah satu-satunya orang yang
menyeru kepada Islam dan tauhid di mana saat
itu Islam dan tauhid tersebut telah punah. Lalu
ia mengangap bahwa hingga datang abad dua
belas hijriyah, hanya dirinya seorang saja yang
melanjutkan dakwah Ibn Taimiyah tersebut.
Klaim Muhammad ibn Abdil Wahhab ini
sungguh sangat sangat aneh, bagaimana ia
dengan sangat berani mengakafirkan mayoritas
umat Islam Ahlussunnah yang jumlahnya
ratusan juta, sementara ia menganggap bahwa
hanya pengikutnya sendiri yang benar-benar
dalam Islam?! Padahal jumalah mereka di
masanya hanya sekitar seratus ribu orang.
Kemudian di Najd sendiri, yang merupakan basis
gerakannya saat itu, mayoritas penduduk
wilayah tersebut di masa hidup Muhammad ibn
Abdil Wahhab tidak mengikuti ajaran dan
faham-fahamnya. Hanya saja memang saat itu
banyak orang di wilayah tersebut takut terhadap
dirinya, oleh karena prilakunya yang tanpa
segan membunuh orang-orang yang tidak mau
mengikuti ajakannya.
Prilaku jahat Muhammad ibn Abdil Wahhab ini
sebagaimana diungkapkan oleh al-Amir ash-
Shan’ani, penulis kitab Subul as-Salâm Syarh
Bulûgh al-Marâm. Pada awalnya, ash-Shan’ani
memuji-muji dakwah Muhammad ibn Abdil
Wahhab, namun setelah ia mengetahui hakekat
siapa Muhammad ibn Abdil Wahhab, ia
kemudian berbalik mengingkarinya. Sebelum
mengetahui siapa hakekat Muhammad ibn Abdil
Wahhab, ash-Shan’ani memujinya dengan
menuliskan beberapa sya’ir, yang pada awal
bait sya’ir-sya’ir tersebut ia mengatakan:
ﺳَﻼَﻡٌ ﻋَﻠَﻰ ﻧَﺠْﺪٍ ﻭَﻣَﻦْ ﺣَﻞّ ﻓِﻲ ﻧَﺠْﺪِ ﻭَﺇﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﺗَﺴْﻠِﻴْﻤِﻲْ
ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺒُﻌْﺪِ ﻻَ ﻳﺠْﺪِﻱ
“Salam tercurah atas kota Najd dan atas
orang-orang yang berada di dalamnya,
walaupun salamku dari kejauhan tidak
mencukupi”.
Bait-bait sya’ir tulisan ash-Shan’ani ini
disebutkan dalam kumpulan sya’ir-sya’ir
(Dîwân) karya ash-Shan’ani sendiri, dan telah
diterbitkan. Secara keseluruhan, bait-bait syair
tersebut juga dikutip oleh as-Syaukani dalam
karyanya berjudul al-Badr at-Thâli’, juga dikutip
oleh Shiddiq Hasan Khan dalam karyanya
berjudul at-Tâj al-Mukallal, yang oleh karena
itu Muhammad ibn Abdil Wahhab mendapatkan
tempat di hati orang-orang yang tidak
mengetahui hakekatnya. Padahal al-Amir ash-
Shan’ani setelah mengetahui bahwa prilaku
Muhammad ibn Abdil Wahhab selalu membunuh
orang-orang yang tidak sepaham dengannya,
merampas harta benda orang lain, mengkafirkan
mayoritas umat Islam, maka ia kemudian
meralat segala pujian terhadapnya yang telah ia
tulis dalam bait-bait syairnya terdahulu, yang
lalu kemudian balik mengingkarinya. Ash-
Shan’ani kemudian membuat bait-bait sya’ir
baru untuk mengingkiari apa yang telah
ditulisnya terdahulu, di antaranya sebagai
berikut:
ﺭَﺟَﻌْﺖُ ﻋَﻦ ﺍﻟﻘَﻮﻝ ﺍﻟّﺬﻱْ ﻗُﻠﺖُ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨّﺠﺪِﻱ ﻓﻘَﺪْ ﺻﺢَّ ﻟِﻲ
ﻋﻨﻪُ ﺧﻼَﻑُ ﺍﻟّﺬِﻱ ﻋﻨﺪِﻱ
ﻇﻨَﻨْﺖُ ﺑﻪِ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻓَﻘُـﻠْﺖُ ﻋَـﺴَﻰ ﻋَـﺴَﻰ ﻧَﺠِﺪْ ﻧَﺎﺻِﺤًﺎ ﻳَﻬْﺪﻱ
ﺍﻟﻌﺒَﺎﺩَ ﻭَﻳﺴﺘﻬْﺪِﻱ
ﻟﻘَﺪ ﺧَـﺎﺏَ ﻓﻴْﻪ ﺍﻟﻈﻦُّ ﻻَ ﺧَﺎﺏ ﻧﺼـﺤُﻨﺎ ﻭﻣَـﺎ ﻛﻞّ ﻇَـﻦٍّ
ﻟﻠﺤَﻘَﺎﺋِﻖ ﻟِﻲ ﻳﻬﺪِﻱ
ﻭﻗَـﺪْ ﺟـﺎﺀَﻧﺎ ﻣﻦ ﺃﺭﺿِـﻪ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻣِﺮْﺑَﺪُ ﻓﺤَﻘّﻖ ﻣِﻦْ ﺃﺣـﻮَﺍﻟﻪ
ﻛﻞّ ﻣَﺎ ﻳﺒـﺪِﻱ
ﻭﻗَـﺪ ﺟَـﺎﺀَ ﻣِـﻦ ﺗﺄﻟﻴــﻔِﻪِ ﺑﺮَﺳَـﺎﺋﻞ ﻳُﻜَـﻔّﺮ ﺃﻫْﻞَ ﺍﻷﺭْﺽ ﻓﻴْﻬَﺎ
ﻋَﻠَﻰ ﻋَﻤﺪِ
ﻭﻟـﻔﻖ ﻓِـﻲ ﺗَﻜْـﻔِﻴﺮِﻫﻢْ ﻛﻞ ﺣُــﺠّﺔٍ ﺗَﺮَﺍﻫـﺎ ﻛﺒَﻴﺖِ ﺍﻟﻌﻨْﻜَﺒﻮﺕِ
ﻟﺪَﻯ ﺍﻟﻨّﻘﺪِ
“Aku ralat ucapanku yang telah aku
ucapkan tentang seorang yang berasal
dari Najd, sekarang aku telah mengetahui
kebenaran yang berbeda dengan
sebelumnya”.
“Dahulu aku berbaik sangka baginya,
dahulu aku berkata: Semoga kita
mendapati dirinya sebagi seorang pemberi
nasehat dan pemeberi petunjuk bagi orang
banyak”
“Ternyata prasangka baik kita tentangnya
adalah kehampaan belaka. Namun
demikian bukan berarti nasehat kita juga
merupakan kesia-siaan, karena
sesungguhnya setiap prasangka itu
didasarkan kepada ketaidaktahuan akan
hakekat-hakekat”.
“Telah datang kepada kami “Syekh” ini
dari tanah asalnya. Dan telah menjadi
jelas bagi kami dengan sejelas-jelasnya
tentang segala hakekat keadaannya dalam
apa yang ia tampakkan”.
“Telah datang dalam beberapa tulisan
risalah yang telah ia tuliskan, dengan
sengaja di dalamnya ia mengkafirkan
seluruh orang Islam penduduk bumi, -
selain pengikutnya sendiri-”.
“Seluruh dalil yang mereka jadikan
landasan dalam mengkafirkan seluruh
orang Islam penduduk bumi tersebut jika
dibantah maka landasan mereka tersebut
laksana sarang laba-laba yang tidak
memiliki kekuatan”.
Selain bait-bait sya’ir di atas terdapat
lanjutannya yang cukup panjang, dan ash-
Shan’ani sendiri telah menuliskan penjelasan
(syarh) bagi bait-bait syair tersebut. Itu semua
ditulis oleh ash-Shan’ani hanya untuk
membuka hekekat Muhammad ibn Abdil
Wahhab sekaligus membantah berbagai sikap
ekstrim dan ajaran-ajarannya. Kitab karya al-
Amir ash-Shan’ani ini beliau namakan dengan
judul “Irsyâd Dzawî al-Albâb Ilâ Haqîqat Aqwâl
Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb”.
Saudara kandung Muhammad ibn Abdil Wahhab
yang telah kita sebutkan di atas, yaitu Syekh
Sulaiman ibn Abdil Wahhab, juga telah
menuliskan karya bantahan kepadanya. Beliau
namakan karyanya tersebut dengan judul ash-
Shawâ-iq al-Ilâhiyyah Fî al-Radd ‘Alâ al-
Wahhâbiyyah, dan buku ini telah dicetak.
Kemudian terdapat karya lainnya dari Syekh
Suliman, yang juga merupakan bantahan kepada
Muhammad ibn Abdil Wahhab dan para
pengikutnya, berjudul “Fashl al-Khithâb Fî ar-
Radd ‘Alâ Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb”.
Kemudian pula salah seorang mufti madzhab
Hanbali di Mekah pada masanya, yaitu Syekh
Muhammad ibn Abdullah an-Najdi al-Hanbali,
wafat tahun 1295 hijriyah, telah menulis sebuah
karya berjudul “as-Suhub al-Wâbilah ‘Alâ
Dlarâ-ih al-Hanâbilah”. Kitab ini berisi
penyebutan biografi ringkas setiap tokoh
terkemuka di kalangan madzhab Hanbali. Tidak
sedikitpun nama Muhammad ibn Abdil Wahhab
disebutkan dalam kitab tersebut sebagai orang
yang berada di jajaran tokoh-tokoh madzhab
Hanbali tersebut. Sebaliknya, nama Muhammad
ibn Abdil Wahhab ditulis dengan sangat buruk,
namanya disinggung dalam penyebutan nama
ayahnya; yaitu Syekh Abdul Wahhab ibn
Sulaiman. Dalam penulisan biografi ayahnya ini
Syekh Muhammad ibn Abdullah an-Najdi
mengatakan sebagai berikut:
“Dia (Abdul Wahhab ibn Sulaiman) adalah
ayah kandung dari Muhammad yang
ajaran sesatnya telah menyebar ke
berbagai belahan bumi. Antara ayah dan
anak ini memiliki perbedaan faham yang
sangat jauh, dan Muhammad ini baru
menampakan secara terang-terangan
terhadap segala faham dan ajaran-
ajarannya setelah kematian ayahnya. Aku
telah diberitahukan langsung oleh
beberapa orang dari sebagian ulama dari
beberapa orag yang hidup semasa dengan
Syekh Abdul Wahhab, bahwa ia sangat
murka kepada anaknya; Muhammad.
Karena Muhammad ini tidak mau
mempelajari ilmu fiqih (dan ilmu-ilmu
agama lainnya) seperti orang-orang
pendahulunya. Ayahnya ini juga
mempunyai firasat bahwa pada diri
Muhammad akan terjadi kesesatan yang
sanat besar. Kepada banyak orang Syekh
Abdul Wahhab selalu mengingatkan:
”Kalian akan melihat dari Muhammad ini
suatu kejahatan...”. Dan ternyata memang
Allah telah mentaqdirkan apa yang telah
menjadi firasat Syekh Abdul Wahhab ini.
Demikian pula dengan saudara
kandungnya, yaitu Syekh Sulaiman ibn
Abdil Wahhab, ia sangat mengingkari
sepak terjang Muhammad. Ia banyak
membantah saudaranya tersebut dengan
berbagai dalil dari ayat-ayat al-Qur’an
dan Hadits-Hadits, karena Muhammad
tidak mau menerima apapun kecuali hanya
al-Qur’an dan Hadits saja. Muhammad
sama sekali tidak menghiraukan apapun
yang dinyatakan oleh para ulama, baik
ulama terdahulu atau yang semasa
dengannya. Yang ia terima hanya
perkataan Ibn Taimiyah dan muridnya; Ibn
al-Qayyim al-Jawziyyah. Apapun yang
dinyatakan oleh dua orang ini, ia pandang
laksana teks yang tidak dapat diganggu
gugat. Kepada banyak orang ia selalu
mempropagandakan pendapat-pendapat
Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim, sekalipun
terkadang dengan pemahaman yang sama
sekali tidak dimaksud oleh keduanya.
Syekh Sulaiman menamakan karya
bantahan kepadanya dengan judul Fashl
al-Khithâb Fî ar-Radd ‘Alâ Muhammad Ibn
’Abd al-Wahhâb.
Syekh Sulaiman ini telah diselamatkan
oleh Allah dari segala kejahatan dan
marabahaya yang ditimbulkan oleh
Muhammad, yang padahal hal tersebut
sangat menghkawatirkan siapapun. Karena
Muhammad ini, apa bila ia ditentang oleh
seseorang dan ia tidak kuasa untuk
membunuh orang tersebut dengan
tangannya sendiri maka ia akan
mengirimkan orangnya untuk membunuh
orang itu ditempat tidurnya, atau
membunuhnya dengan cara
membokongnya di tempat-tempat
keramaian di malam hari, seperti di pasar.
Ini karena Muhammad memandang bahwa
siapapun yang menentangnya maka orang
tersebut telah menjadi kafir dan halal
darahnya.
Disebutkan bahwa di suatu wilayah
terdapat seorang gila yang memiliki
kebiasaan membunuh siapapun yang ada
di hadapannya. Kemudian Muhammad
memerintahkan orang-orangnya untuk
memasukkan orang gila tersebut dengan
pedang ditangannya ke masjid di saat
Syekh Sulaiman sedang sendiri di sana.
Ketika orang gila itu dimasukan, Syekh
Sulaiman hanya melihat kepadanya, dan
tiba-tiba orang gila tersebut sangat
ketakutan darinya. Kemudian orang gila
tersebut langsung melemparkankan
pedangnya, sambil berkata: ”Wahai
Sulaiman janganlah engkau takut,
sesungguhnya engkau adalah termasuk
orang-orang yang aman”. Orang gila itu
mengulang-ulang kata-katanya tersebut.
Tidak diragukan lagi bahwa hal ini jelas
merupakan karamah” (as-Suhub al-
Wâbilah Ala Dlara-ih al-Hanbilah, h. 275).
Dalam tulisan Syekh Muhammad ibn Abdullah
an-Najdi di atas disebutkan bahwa Syekh Abdul
Wahhab sangat murka sekali kepada anaknya;
Muhammad, karena tidak mau mempelajari ilmu
fiqih, ini artinya bahwa dia sama sekali bukan
seorang ahli fiqih dan bukan seorang ahli
Hadits. Adapun yang membuat dia sangat
terkenal tidak lain adalah karena ajarannya
yang sangat ekstrim dan nyeleneh. Sementara
para pengikutnya yang sangat mencintainya,
hingga mereka menggelarinya dengan Syekh al-
Islâm atau Mujaddid, adalah klaim laksana
panggang yang sangat jauh dari api. Para
pengikutnya yang lalai dan terlena tersebut
hendaklah mengetahui dan menyadari bahwa
tidak ada seorangpun dari sejarawan terkemuka
di abad dua belas hijriyah yang mengungkap
biografi Muhammad ibn Abdil Wahhab dengan
menyebutkan bahwa dia adalah seorang ahli
fiqih atau seorang ahli Hadits.
Syekh Ibn Abidin al-Hanafi dalam karyanya;
Hâsyiyah Radd al-Muhtâr ‘Alâ ad-Durr al-
Mukhtâr menuslikan sebagai berikut:
“Penjelasan; Prihal para pengikut
Muhammad ibn Abdil Wahhab sebagai
kaum Khawarij di zaman kita ini.
Pernyataan pengarang kitab (yang saya
jelaskan ini) tentang kaum Khawarij: “Wa
Yukaffirûn Ash-hâba Nabiyyina…”, bahwa
mereka adalah kaum yang mengkafirkan
para sahabat Rasulullah, artinya kaum
Khawarij tersebut bukan hanya
mengkafirkan para sahabat saja, tetapi
kaum Khawarij adalah siapapun mereka
yang keluar dari pasukan Ali ibn Abi Thalib
dan memberontak kepadanya. Kemudian
dalam keyakinan kaum Khawajij tersebut
bahwa yang memerangi Ali ibn Abi Thalib,
yaitu Mu’awiyah dan pengikutnya, adalah
juga orang-orang kafir. Kelompok Khawarij
ini seperti yang terjadi di zaman kita
sekarang, yaitu para pengikut Muhammad
ibn Abdil Wahhab yang telah memerangi
dan menguasai al-Haramain; Mekkah dan
Madinah. Mereka memakai kedok
madzhab Hanbali. Mereka meyakini bahwa
hanya diri mereka yang beragama Islam,
sementara siapapun yang menyalahi
mereka adalah orang-orang musyrik. Lalu
untuk menegakan keyakinan ini mereka
mengahalalkan membunuh orang-orang
Ahlussunnah. Oleh karenanya banyak di
antara ulama Ahlussunnah yang telah
mereka bunuh. Hingga kemudian Allah
menghancurkan kekuatan mereka dan
membumihanguskan tempat tinggal
mereka hingga mereka dikuasai oleh
balatentara orang-orang Islam, yaitu pada
tahun seribu dua ratus tiga puluh tiga
hijriyah (th 1233 H)” (Radd al-Muhtâr ‘Alâ
ad-Durr al-Mukhtâr, j. 4, h. 262; Kitab
tentang kaum pemberontak.).
Salah seorang ahli tafsir terkemuka; Syekh
Ahmad ash-Shawi al-Maliki dalam ta’lîq-nya
terhadap Tafsîr al-Jalâlain menuliskan sebagai
berikut:
“Menurut satu pendapat bahwa ayat ini
turun tentang kaum Khawarij, karena
mereka adakah kaum yang banyak
merusak takwil ayat-ayat al-Qur’an dan
Hadits-Hadits Rasulullah. Mereka
menghalalkan darah orang-orang Islam
dan harta-harta mereka. Dan kelompok
semacam itu pada masa sekarang ini
telah ada. Mereka itu adalah kelompok
yang berada di negeri Hijaz; bernama
kelompok Wahhabiyyah. Mereka mengira
bahwa diri mereka adalah orang-orang
yang benar dan terkemuka, padahal
mereka adalah para pendusta. Mereka
telah dikuasai oleh setan hingga mereka
lalai dari mengenal Allah. Mereka adalah
golongan setan, dan sesungguhnya
golongan setan adalah orang-orang yang
merugi. Kita berdo’a kepada Allah, semoga
Allah menghancurkan mereka” (Mir-ât an-
Najdiyyah, h. 86).
 — ‎bersama ‎Mohamad Zakuwan,Syaeful ArifinNo Wahabi, dan 45 lainnya‎.‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar