NgajiHikam
Bab-49
Diambil
dari sidogiri dengan beberapa penyesuaian.
“Besarnya
dosa jangan sampai menjadi rintangan bagimu dari berhushnudh-dzhan (Baik
prasangka) kepada Allah sebab barang siapa yang benar-benar mengenal Allah,
akan menganggap kecil dosanya dibanding luasnya kemurahan yang dimiliki oleh
Allah.”
Di
bab sebelumnya sudah dijelaskan bahwa di antara tanda matinya hati adalah tidak
adanya perasaan menyesal dikala berbuat dosa.
Sekarang
dilanjutkan bahwa meski kita dianjurkan menyesal di saat melakukan dosa, jangan
lantas membuat sikap ini terus menguasai kita sehingga mengakibatkan dirinya
putus asa dan bersikap negative thinking / berburuk sangka kepada Allah.
Di
saat berbuat dosa atau lalai menunaikan kewajiban maka kita dianjurkan menyesal
dan bangkit memperbaiki kelalaian itu. Bukan terus menyesal dan membuat kita
lupa pada besarnya ampunan yang dimiliki oleh Allah. Kalau hanya menyesal saja
ya jelas salah.
Realitanya
kadang ada sebagian orang yang berbuat dosa, kemudian menyesalinya
sampai-sampai putus asa pada besarnya ampunan yang dimiliki oleh Allah.
Setan
kadang membisikinya bahwa kalau sudah terlanjur berbuat dosa besar, maka
perbuatan ibadahnya sudah tak berguna lagi. Apabila bisikan setan ini dituruti
maka perasaan menyesal akibat berbuat dosa tak lantas menjadikannya bangkit tuk
berbuat baik.
Karena
itu kalam hikmah sebelumnya harus dipahami sesuai konteksnya dengan mempelajari
kalam hikmah saat ini.
Bahwa
menyesal saat berbuat dosa/tak melaksanakan kewajiban itu bagus, tapi harus
bangkit tuk memperbaikinya, bukan terus-terus meratapinya.
Seberapa
besar dan banyak dosa yang kita kerjakan, ampunan dan rahmat yang dimiliki oleh
Allah jauh lebih besar dari itu semua.
Menyesal
dari berbuat dosa tak lantas membuat terpuruk dalam penyesalan selamanya, tapi
justru sebaliknya, bangkit dan memperbaiki kesalahan.
Kalau
ditanya. Bagaimana mungkin dalam satu sisi kita diperintah menyesal saat
berbuat dosa, tapi di sisi lain diperintah tuk husnud-dzan?
Maka
di sini perlu dijelaskan secara rinci, bahwa perintah menyesali perbuatan dosa
adalah semata-mata karena malu kepada Allah.
Malu
karena Allah telah memperlakukan kita dengan sebaik-baiknya, tapi kita kok
malah mendurhakainya dengan berbuat dosa. Ini sangat memalukan.
Menyesali
perbuatan dosa itu murni karena faktor malu kepada-Nya. Bukan karena takut akan
siksaan/ancaman neraka dari Allah.
Kalau
penyesalan berbuat dosa karena berdasarkan takut kepada siksaan/neraka, maka
sejatinya dia ego. Ego mementingkan diri sendiri. Soal surga/neraka,
siksa/nikmat, itu murni menjadi hak prerogatif Allah. Manusia tak memiliki
kekuasaan apa-apa. Apabila menyesali perbuatan dosa karena takut neraka, maka
potensi berburuk sangka kepada Allah semakin tinggi. Namun, apabila menyesali
perbuatan dosa karena malu terhadap Allah maka kita tetap bisa menjaga tuk
senantiasa berbaik sangka kedapa-Nya.
So,
perlu ditegaskan kembali bahwa ketika berbuat dosa/lalai pada kewajiban maka
sikap kita adalah menyesali perbuatan itu semua. Selanjutnya bangkit tuk
memperbaiki semua kesalahan itu dengan tetap percaya dan berbaik sangka bahwa
ampunan Allah jauh lebih besar.
Inilah
sikap yang proporsional. Jangan lantas dosa yang dikerjakan itu membuatnya
menyesal, tapi tidak membuatnya bangkit dari keterpurukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar