Jumat, 19 Desember 2014

''GO BACK''

 
BERBALIK ARAH

Waktu demi waktu terus saja bergulir,
membentangkankan panjang jarak kehidupan yang telah jauh terlampaui.
Namun seiring bertambahnya rentangan usia kita,
ada pertanyaan tajam yang harus kita jawab,
"Jika hari ini mati! masuk kemana kah kita, ke surga atau neraka?
Jika jawabannya in shaa Allah mudah-mudahan ke surga, karena kita tergolong
orang yang sholeh, semoga kita tidak menjadi sombong.
Tetapi jika jawabannya kemungkinan atau pasti ke neraka, karena ibadah saja pun tidak, amal kebaikan jarang, terlebih amaliyah buruk lah yang selalu kita lakukan, maka betapa sialnya!
Berlebih hidup puluhan tahun namun hasil akhirnya masuk ke neraka jahanam.
Sesekali tidak!
Kita jangan jadi pecundang dan menjadi teman setan di neraka.
Karenanya, selagi ada kesempatan hidup MARI KITA BERBALIK ARAH menuju jalan ke surga.
Mulailah dengan belajar menuntut ilmu agama dan berteman dengan orang-orang shaleh
Semoga matahari esok pagi akan menjadi saksi : Kembalinya iman yang hilang,
datangnya secercah harapan, bangkit dan kembalinya sang ksatria ke rumahnya di jalan keshalehan.
Mari kita semua bersama berbalik arah. Halangan dan cemoohan pasti akan ada,
tetapi jadikanlah itu penyemangat ke Surga.
NgajiHikam Bab-49
Diambil dari sidogiri dengan beberapa penyesuaian.

“Besarnya dosa jangan sampai menjadi rintangan bagimu dari berhushnudh-dzhan (Baik prasangka) kepada Allah sebab barang siapa yang benar-benar mengenal Allah, akan menganggap kecil dosanya dibanding luasnya kemurahan yang dimiliki oleh Allah.”

Di bab sebelumnya sudah dijelaskan bahwa di antara tanda matinya hati adalah tidak adanya perasaan menyesal dikala berbuat dosa.

Sekarang dilanjutkan bahwa meski kita dianjurkan menyesal di saat melakukan dosa, jangan lantas membuat sikap ini terus menguasai kita sehingga mengakibatkan dirinya putus asa dan bersikap negative thinking / berburuk sangka kepada Allah.

Di saat berbuat dosa atau lalai menunaikan kewajiban maka kita dianjurkan menyesal dan bangkit memperbaiki kelalaian itu. Bukan terus menyesal dan membuat kita lupa pada besarnya ampunan yang dimiliki oleh Allah. Kalau hanya menyesal saja ya jelas salah.

Realitanya kadang ada sebagian orang yang berbuat dosa, kemudian menyesalinya sampai-sampai putus asa pada besarnya ampunan yang dimiliki oleh Allah.

Setan kadang membisikinya bahwa kalau sudah terlanjur berbuat dosa besar, maka perbuatan ibadahnya sudah tak berguna lagi. Apabila bisikan setan ini dituruti maka perasaan menyesal akibat berbuat dosa tak lantas menjadikannya bangkit tuk berbuat baik.

Karena itu kalam hikmah sebelumnya harus dipahami sesuai konteksnya dengan mempelajari kalam hikmah saat ini.

Bahwa menyesal saat berbuat dosa/tak melaksanakan kewajiban itu bagus, tapi harus bangkit tuk memperbaikinya, bukan terus-terus meratapinya.

Seberapa besar dan banyak dosa yang kita kerjakan, ampunan dan rahmat yang dimiliki oleh Allah jauh lebih besar dari itu semua.

Menyesal dari berbuat dosa tak lantas membuat terpuruk dalam penyesalan selamanya, tapi justru sebaliknya, bangkit dan memperbaiki kesalahan.

Kalau ditanya. Bagaimana mungkin dalam satu sisi kita diperintah menyesal saat berbuat dosa, tapi di sisi lain diperintah tuk husnud-dzan?

Maka di sini perlu dijelaskan secara rinci, bahwa perintah menyesali perbuatan dosa adalah semata-mata karena malu kepada Allah.

Malu karena Allah telah memperlakukan kita dengan sebaik-baiknya, tapi kita kok malah mendurhakainya dengan berbuat dosa. Ini sangat memalukan.

Menyesali perbuatan dosa itu murni karena faktor malu kepada-Nya. Bukan karena takut akan siksaan/ancaman neraka dari Allah.

Kalau penyesalan berbuat dosa karena berdasarkan takut kepada siksaan/neraka, maka sejatinya dia ego. Ego mementingkan diri sendiri. Soal surga/neraka, siksa/nikmat, itu murni menjadi hak prerogatif Allah. Manusia tak memiliki kekuasaan apa-apa. Apabila menyesali perbuatan dosa karena takut neraka, maka potensi berburuk sangka kepada Allah semakin tinggi. Namun, apabila menyesali perbuatan dosa karena malu terhadap Allah maka kita tetap bisa menjaga tuk senantiasa berbaik sangka kedapa-Nya.

So, perlu ditegaskan kembali bahwa ketika berbuat dosa/lalai pada kewajiban maka sikap kita adalah menyesali perbuatan itu semua. Selanjutnya bangkit tuk memperbaiki semua kesalahan itu dengan tetap percaya dan berbaik sangka bahwa ampunan Allah jauh lebih besar.

Inilah sikap yang proporsional. Jangan lantas dosa yang dikerjakan itu membuatnya menyesal, tapi tidak membuatnya bangkit dari keterpurukan.

Orang yang mengenal sifat-sifat Allah dengan pemahaman yang baik akan sadar, bahwa rahmat dan ampunan-Nya jauh melebihi sifat murkanya.